Keesokan paginya, tepatnya setelah Magika dibuat tidur tidak tenang oleh manusia bernama Sutejo Daryono itu Magika langsung bergegas menuju kelas Magenta untuk menjawab segala pertanyaannya. Ia bahkan belum lagi masuk ke kelasnya pagi ini, padahal ini adalah jadwalnya piket.
Ketika Magika menengok ke dalam kelas IPA satu, kelas masih begitu sepi. Hanya ada beberapa orang di sana, Gadis yang hari ini mengikat rambutnya itu meraih ponsel di dalam sakunya. Ia melihat jam yang terpampang di layar, gadis itu lantas berdecak ketika ternyata saat ini masih pukul setengah tujuh pagi. Pantas saja masih sepi, ia datang kepagian ternyata.
Setelah bermenit menit menunggu satu persatu warga IPA satu mulai satu persatu berdatangan. Namun orang yang Magika tunggu-tunggu belum juga datang, Jo belum datang dan begitu pula dengan Magenta. Padahal lima menit lagi jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Perasaan Magika tiba-tiba saja berubah jadi tidak enak. Jangan-jangan upaya pengancaman kemarin tidak digubris sama sekali oleh Aneth, jangan-jangan juga Magenta saat ini masih mendekam di balik jeruji besi.
Ah tidak. Magika menggeleng. Ia yakin ancamannya kemarin cukup meyakinkan dan menyeramkan. Lagi pula Aneth Saraswatri itu bukanlah orang bodoh yang tidak bisa menebak risiko yang terjadi saat anaknya dikeluarkan dari sekolah disaat ia sudah kelas duabelas.
Dari arah timur Magika melihat seorang gadis dengan rambut sebahu sedang berjalan, namanya Vania teman satu kelasnya yang paling pendiam, tidak banyak berbicara, dan juga tidak banyak bergaul terhadap satu sama lainnya. Di belakang Vania Magika dapat melihat Jo berjalan dengan jarak kurang lebih dua langkah di belakang gadis itu.
"Hai Van," sapa Magika dengan senyum hangatnya.
"Hai," balas Vania dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Magika tidak ambil pusing akan itu, Vania memang selalu seperti itu terhadap setiap orang. Hampir sepanjang waktu.
Ketika Jo hendak melewati dirinya dengan secepat kilat gadis itu menarik tangan cowok itu, menahan pergerakannya. Magika masih sangat kesal Jo membuat tidurnya tidak nyenyak, ditambah lagi cowok itu seakan tidak memandang keberadaannya saat ini.
"Mau ke mana lo hah?!" sungut Magika kesal.
"Lepasin tangan gue dong. Bukan muhrim tau," ucap Jo dengan ekspresi seakan akan Magika baru saja menodai kesuciannya.
Magika melepas tangan kekar itu dengan kasar. "Sok suci Lo!" cibir Magika.
"Lo mau apa?"
"Magenta mana?"
Jo menolehkan kepalanya ke dalam kelas. ia cukup terkejut melihat sahabatnya itu tidak ada di tempatnya. Jo lalu menggaruk garuk tengkuknya yang tidak gatal, ia kebingungan.
"Kok dia nggak ada ya?"
"Ya mana gue tahu Tejo! Dia udah bebas kan?"
"Udah, dan harusnya sih dia masuk hari ini," ucap Jo.
"Chat coba."
"Kenapa gak Lo yang chat dia? Gak punya nomornya?" tebak Jo.
"Ya punya lah," jawab Magika. Ia sudah punya nomor Magenta sejak berbulan bulan lalu. Nomor cowok itu Magika dapatkan hasil minta dari Disa, temannya yang tidak terlalu dekat namun sangat baik hati.
"Yaudah Lo chat lah Gi." Jo berdecak kesal.
Jika Magika sudah punya nomor Magenta, untuk apa pula ia memintanya untuk chat Magenta? Bukankah ia bisa melakukannya sendiri? Apa mungkin Magika tidak punya kuota? Tidak mungkin juga Magika tidak punya kuota, beberapa menit yang lalu gadis itu kan update status di Instagram.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Ficção Adolescente#1 FiksiRemaja 16 Agustus 2019 Magenta Ardhiyasa. Pentolan Band The Rythm dengan suara dan tampang yang sama-sama mempesona. Siapa yang tidak mengenalnya? Seisi SMA Andalas mengenalnya, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai ikon Pacar idaman. Dib...