🎐🎐🎐
Jangan menilai seseorang hanya dengan berkaca pada masa lalunya. Karena setiap orang berhak untuk berubah, entah menjadi lebih baik ataupun lebih buruk.
-Magika Anandini-
🎐🎐🎐
"Hasil ulangan kimia minggu lalu akan saya bacakan hasilnya hari ini," ucap Bu Jeni sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasnya.
Suasana kelas seketika langsung berubah menjadi riuh mendengarnya. Ada yang berseru agar Bu Jeni tidak perlu repot-repot membacakannya, cukup bagikan saja sudah. Ada juga yang meminta agar tidak usah diberitahu saja hasilnya sekalian, karena jika jelek pasti akan menambah beban pikiran dan akan membuat pelajaran lain akan terganggu.
Diantara siswa-siswi yang riuh itu Magika diam dengan senyum di wajahnya. Setelah belajar ekstra keras siang dan malam ia rasa hasil yang akan diraihnya akan baik-baik saja. Seandainya nilainya belum maksimal, setidaknya bisa lebih baik dari nilai yang ia dapat di semester lalu.
"Hasilnya akan tetap saya bacakan," ucap Bu Jeni tegas, seakan tidak terpengaruh dengan anak-anak sekelas yang merengek kepadanya.
"Yah kenapa Bu? Udah deh bagiin biasa aja. Harga diri dipertaruhkan ini," sahut salah satu murid perempuan yang duduk tepat di depan Magika.
Ucapannya ada benarnya juga. Meski mendapat nilai jelek bukan berarti akan mendapat bully an dari teman-teman sekelas namun tetap saja malunya itu gak bisa di kondisikan. Setiap siswa yang otaknya normal rasanya akan mendapat perasaan yang sama saat nilai jeleknya diketahui oleh orang lain.
Bu Jeni menggelengkan kepalanya, dengan cepat guru kimia itu menjawab usulan salah satu siswanya. "Saya seperti ini itu bukan tanpa alasan. Kalian harus tahu siapa yang dapat nilai baik, agar yang nilainya jelek bisa minta bantuan sama yang nilainya baik."
Semua siswa mendengus kasar setelahnya. Keputusan Bu Jeni sepertinya memang tidak bisa diganggu gugat. Suasana kelas hening ketika Bu Jeni mulai membacakan nama beserta nilai yang diperoleh. Semua diam karena tidak mau kena omelan, dan lagipula dengan kondisi jantung mereka yang sedang berlari maraton saat ini sangat tidak pas jika mereka harus berbicara dengan satu sama lain.
Satu persatu nama siswa dipanggil secara acak. Namun entah mengapa Bu Jeni selalu menempatkan Magika di urutan terbelakang setiap yang berhubungan dengan hasil ulangan. Dan itu sangat menyebalkan karena jantungnya akan berdebar keras dalam jangka waktu yang lebih panjang.
"Magika Anandini."
Dengan cepat Magika mengacungkan tangan kanannya. "Saya Bu."
"Nilai kamu sembilan puluh lima," ucap Bu Jeni yang membuat Magika membuka mulutnya. Magika terkejut bukan main, ia mana pernah membayangkan akan mendapat nilai setinggi itu. Seisi kelas juga dibuat terkejut, bukan hanya karena nilai Magika yang tidak biasa namun juga karena gadis itu berhasil mendapat predikat nilai tertinggi di kelas.
"Tenang semuanya!" Bu Jeni mengetuk meja beberapa kali dengan penghapus papan tulis karena suasana kelas mulai riuh dan tidak lagi kondusif. Setelah semua siswa diam manik mata Bu Jeni mengarah kepada Magika dengan. "Tapi saya harus menganulir nilai tersebut."
Kali ini ucapan Bu Jeni membuat semua yang mendengarnya tambah terkejut. Magika tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mulutnya dan mempertanyakan keputusan tidak masuk akal dari gurunya tersebut. "Kenapa nilai saya dianulir Bu? Alasannya apa?!"
Bu Jeni memandang Magika dengan santai seolah tidak terpancing sedikitpun dengan pertanyaan siswinya yang bernada sedikit tinggi itu. "Alasannya saya tidak bisa mempercayai nilai itu kamu dapatkan dengan usahamu sendiri." Bu Jeni menjeda ucapannya dengan rentang waktu satu tarikan napas. "Terakhir kali kamu ulangan kamu mendapat nilai dibawah lima, dan begitu pula dengan ulangan lainnya. Jadi nilai sembilanpuluh lima itu sama sekali tidak masuk akal bagi saya untuk ukuran kamu. Apalagi ini adalah soal essai, bukan pilihan ganda yang bisa seenaknya dijawab asal."
Tangan Magika terkepal di bawah meja mendengar penjelasan Bu Jeni soal alasan nilainya harus dianulir. Olla yang menyadari gestur sahabatnya itu menyentuh bahu Magika, dari sorot matanya Olla seolah berkata bahwa Magika harus sabar.
Namun Magika tidak bisa. Bagaimana bisa ia bersabar ketika hasil usaha kerasnya dianggap rendah seperti itu. "Jadi Bu Jeni nuduh saya berlaku curang, begitu?" suara Magika menggema di ruangan kelas yang sunyi, sorot matanya begitu dingin penuh Ketidaksukaan.
Bu Jeni mengangguk, "Itu spekulasi yang paling masuk akal."
"Ibu gak bisa menilai seseorang hanya berkaca dari masa lalunya. Setiap orang berhak untuk berubah menjadi lebih baik, termasuk saya. Memang saya perlu laporan, sekeras apa usaha saya untuk memperbaiki nilai saya sama Ibu?" Ucapan Magika terdengar begitu serius, teman-teman Magika bahkan meragukan bahwa itu adalah gadis itu karena jelas dari cara bicaranya bukan Magika sekali. Bu Jeni bahkan sampai terperangah dan kehilangan kata untuk menjawab.
[BEBERAPA BAB TELAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PROSES PENERBITAN, BUAT YANG MAU BACA LEBIH LENGKAP BISA IIKUTAN PRE ORDERNYA TANGGAL 24 SEPTEMBER, ATAU BELI NOVELNYA. TERIMAKASIH SUDAH MAU MEMBACA CERITA INI❤]
🎐🎐🎐
[Ekspresi Magika dapet duit gocap]
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Teen Fiction#1 FiksiRemaja 16 Agustus 2019 Magenta Ardhiyasa. Pentolan Band The Rythm dengan suara dan tampang yang sama-sama mempesona. Siapa yang tidak mengenalnya? Seisi SMA Andalas mengenalnya, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai ikon Pacar idaman. Dib...