03 - Even If It's Not Necessary

4.8K 605 70
                                    

Pagi ini, Brian sedang berada di lobby hotel. Sudah mandi dan sudah ganteng, yang jelas. Dia duduk di salah satu sofa yang tersedia di lobby. Kakinya bergoyang tidak jelas dengan cepat, seperti sedang gelisah. Matanya kemana-mana mencari sosok yang sejak beberapa menit lalu ditunggunya.

Aneska. Brian sedang menunggu gadis itu untuk turun ke lobby. Brian tahu bahwa Aneska belum meninggalkan hotel. Karena sebelum memutuskan untuk duduk di sofa, Brian sudah bertanya lebih dulu dengan resepsionis. Dan mereka memastikan bahwa Aneska masih belum keluar dari kamarnya, karena gadis itu belum menitipkan kunci kamarnya.

TIIIING

Bunyi lift kembali berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Brian langsung menoleh, berharap itu adalah Aneska. Untungnya, kali ini benar-benar Aneska yang keluar dari lift tersebut. Dilihatnya Aneska berjalan menuju resepsionis, lalu meninggalkan kunci disana. Aneska masih belum menyadari Brian yang masih memandanginya, hingga akhirnya Aneska berjalan menuju pintu keluar. Disaat itulah, Brian sontak berdiri dan berteriak memanggil namanya.

"ANESKA!"

Aneska tersentak dan menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke asal suara lalu terlihat bingung. Kenapa Brian memanggilnya? Aneska pikir, hutang budinya sudah selesai. Walaupun tidak juga.

"Brian? Kenapa?" tanya Aneska saat Brian sudah tiba di depannya.

"Nes, saya mau minta maaf." ujar Brian tiba-tiba.

"Maaf? Buat apa?" tentu saja Aneska terlihat kebingungan, tidak mengerti. Maaf untuk apa?

"Saya... tadi malam, udah bikin kamu nggak nyaman." kata Brian lagi.

Aneska terdiam, lalu mengingat-ngingat makan malamnya bersama Brian tadi malam serta apa yang dilakukan Brian sehingga membuatnya minta maaf. Tidak ada yang dilakukan Brian selain melamun setelah menyantap makan malam itu. Bahkan saat perjalanan kembali ke hotel pun, Brian hanya sekali-kali membuka mulutnya. Mungkin itu yang ia maksud bahwa Aneska tidak nyaman. Tapi, dia tidak salah. Aneska memang tidak nyaman tadi malam.

Aneska lalu menatap Brian lekat-lekat, walau ia perlu mengangkat wajahnya dikarenakan perbedaan tinggi badan mereka. "Brian, saya nggak tau kamu ada masalah apa. Tapi saya tau sih ada hubungannya sama tempat itu. Iya kan?"

Brian tidak menjawab, maka Aneska menganggap bahwa ia benar.

"Maaf kalau saya lancang." lanjut Aneska, "Tapi saya pikir, tujuan kamu ke Bandung kan untuk Refreshing. Atau saya salah denger ya tadi malam?"

Brian mengedipkan matanya. Nafasnya serasa tercekat dan tidak bisa membalas pekataan Aneska. Melihat ekspresinya yang lumayan lucu, Aneska lalu tertawa, "Jangan diinget hal-hal yang nggak perlu, Bri. Oke?"

Setelah melempar senyumnya, Aneska berjalan keluar dari hotel. Sementara Brian masih mematung. Sebelum ia benar-benar pergi, Brian lagi-lagi memanggilnya dan menyusul Aneska di luar hotel.

"Nes," panggil Brian sekali lagi, "Kamu mau kemana?"

"Nggak tau juga sih... Hehehehe,"

Brian tersenyum, "Selama disini, gimana kalau kita jalan bareng aja?"

Aneska awalnya terlihat kaget, lalu setelah memikirkannya lagi, tidak buruk juga. "Boleh emangnya?"

"Ya boleh. Daripada saya sendirian, nggak enak."

"Bagus dong!" celetuk Aneska, memamerkan cengirannya pada Brian, "Saya jadi bisa hemat ongkos keluar."

"Hahahahaha!" Brian tergelak.

"Tapi sebagai gantinya, kamu harus mau saya traktir. Kali ini beneran, jangan kayak tadi malam. Malah kamu yang bayar nasi gorengnya."

"Kalau gitu saya pilih makanan yang mahal, boleh?"

When We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang