"Nes, ntar kalo kamu nyampe di kos, tungguin aku bentar ya. Kamarnya nggak aku kunci, tadi ibu kos minta tolong sebentar sama aku dan raka. Tungguin ya."
Aneska membuka pelan kamar kos Brian yang ternyata benar tidak ia kunci. Saat membuka kamar itu, Aneska tahu bahwa ia akan segera mendapat pemandangan tidak menyenangkan.
"Gue bahkan nggak tahu harus duduk dimana." gumam Aneska sambil menggelengkan kepalanya. Ia bertanya-tanya, dimana Brian tidur ketika ranjangnya ramai dengan baju-baju yang entah itu bersih atau kotor.
"Mbak Neska,"
Aneska segera membalikkan tubuhnya saat ibu kos memanggil dan kemudian menghampirinya.
"Aduh, mbak Neska kalo mau duduk di dalem rumah ibu aja gimana?" tanya ibu kos yang sepertinya sudah sangat hafal bagaimana Brian.
"Nggak usah, Bu. Disini juga nggak apa-apa kok. Kayaknya, sekalian aku bersihin aja."
"Mbak Neska ntar yang sabar ya kalo udah nikah sama mas Brian."
Mendengar ucapan ibu kos, Aneska tertawa renyah. Ia yakin jika Brian ada disini, cowok itu pasti hanya akan menyengir memamerkan giginya yang rapi. Setelah itu, ibu kos kembali masuk ke rumahnya dan Aneska mengambil sapu yang ada dibalik pintu. Setidaknya, Brian punya sebuah sapu di kamarnya.
Aneska kemudian merapikan baju-baju yang terletak diatas tempat tidur. Aneska tidak tahu mana yang bersih dan kotor, tapi ia tetap melipatnya. Memisahkan baju yang sekiranya sudah digunakan oleh Brian dengan yang belum ia gunakan.
Saat sedang melipat pakaian, mata Aneska tertuju pada sekumpulan kertas yang sudah berbentuk bola di bawah meja. Kertas itu tentu sudah tidak dipakai dan lebih dari satu. Brian bahkan tidak repot-repot memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tong sampah yang ada didekatnya. Aneska menggelengkan kepalanya dan berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan.
"Aduh, Brian, kamu tuh ya." gumam Aneska lagi lalu menghampiri kertas-kertas itu.
Ia buka lipatannya yang sudah tidak beraturan. Awalnya, Aneska mengira itu adalah pekerjaan Brian yang gagal. Tapi, ketika ia membaca dengan seksama, matanya membulat karena terkejut.
Ia kembali membuka kertas-kertas yang lain. Isinya sama. Keningnya yang berkerut kini berubah melembut, tatapannya menjadi sendu. Ia kembali meresapi kalimat demi kalimat yang ada dikertas itu.
Tuhan, apa aku pantas untuk laki-laki sebaik Brian?
"Neska."
Aneska tidak melirik dan merespon ketika Brian tiba.
"Aduh, maaf banget ya. Tadi dadakan banget ibu kos nyuruh. Terus, aku bawa makanan nih. Aku juga bawa telur gulung kesukaan kamu—" Brian langsung menjatuhkan kantong kresek yang ia tenteng sedari tadi ketika melihat Aneska sedang terduduk dilantai membelakanginya. "Neska kamu kenapa?!"
Brian semakin panik saat melihat mata Aneska yang memerah, seperti baru saja selesai menangis. "Nes, kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa kamu nangis, Nes?"
Pertanyaan-pertanyaan Brian itu tidak menenangkan hati Aneska, ia kembali menangis dengan tersedu. Tapi, jangan salah paham. Ini adalah tangisan haru.
Saat itulah Brian sadar dengan kertas-kertas yang ada disekitarnya. Wajah panik Brian langsung melembut, ia sekarang sudah tersenyum lalu tertawa kecil sambil menatap Aneska yang masih tersedu.
"Kok kamu baca sih?" tanya Brian akhirnya.
"Habisnya kamar kamu berantakan! Aku nggak tahan lihatnya!"
Brian semakin tertawa melihar reaksi lucu Aneska. Setelah itu, ia kembali menatap Aneska dengan lekat. Rambut Aneska sudah memanjang. Rambut hitamnya terjatuh hingga hampir menutupi wajahnya. Brian lalu menyelipkan rambutnya kebelakang telinga Aneska, sehingga membuat cewek itu balik menatapnya.
"Kenapa kamu nangis?"
"Kenapa kamu sampai segitunya... untuk orang kayak aku?"
Brian terdiam sejenak. Aneska menatapnya lekat, walau dengan wajah yang sendu, tapi terlihat menunggu jawaban Brian.
"Orang kayak aku yang kamu bilang itu, udah berhasil bikin aku sadar, kalo ngelepas orang yang salah itu nggak berat." ujar Brian. "Karena orang kayak aku yang kamu bilang itu, udah berhasil bikin aku jatuh sedalam-dalamnya sama dia dan aku nggak nyeselin itu."
Mendengar perkataan Brian yang terdengar tulus, dengan wajah teduh, dengan senyuman yang selalu membuat hati Aneska teduh, ia kembali menangis lalu tiba-tiba memeluk Brian. Brian agak sedikit terkejut, Aneska jarang sekali melakukan itu. Brian pun sama.
"Brian."
"Iya, Neska?"
"Makasih. Makasih banyak. Aku ngerasa, aku nggak patut kamu cintai dengan segitunya. Sampai-sampai, buat lamar aku aja, kamu harus ngabisin banyak kertas." ujar Aneska. Ia menghentikan kalimatnya sejenak. Yang terdengar hanyalah detak jantung. Aneska tidak tahu, itu miliknya atau milik Brian, atau bahkan milik mereka berdua. "Aku yang beruntung punya kamu, Brian. Aku... aku sayang sama kamu. Sayang banget."
Brian melingkarkan tangannya dibahu Aneska, balas memeluk gadis itu dengan erat. Tapi, ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya tersenyum.
"Kok... kamu nggak ngomong apa-apa sih?" tanya Aneska.
Brian masih tersenyum, lalu ia terkekeh. "Kita nikah sekarang yuk?"
Aneska tergelak. "Yuk! Kita ke KUA sekarang."
"Benerah mau nih?"
Aneska melepaskan pelukannya dan menatap Brian dengan wajah serius. "Kamu serius?"
Brian kembali memeluk Aneska. "Enggak ah. Aku mau lihat kamu pakai kebaya cantik."
"Tapi, kamu belum bales ucapanku."
"Nggak dibales semua orang juga tahu."
"Kita nggak apa-apa pelukan kayak gini? Ntar diliatin orang."
"Biarin aja. Orang bentar lagi mau nikah."
"Kan tunangan dulu."
"Lusanya nikah."
Aneska kembali melepaskan pelukannya. Lalu memukul pelan lengan Brian. Brian hanya mengaduh sambil cengengesan.
"Sekarang kita bersihin kamar kamu dulu. Berantakan banget. Masa ntar kalo udah nikah, kayak gini juga." ujar Aneska lalu bangkit berdiri.
"Lho, siapa bilang kita kalo udah nikah tinggal disini?" tanya Brian.
Aneska menoleh dan menatap Brian yang masih duduk dilantai. "Enggak ya?"
"Enggak dong." balas Brian. "Ntar kalo udah tunangan aku ajak ke rumah kita."
"Lho, ada ya?"
"Ada dong."
"Ih, kenapa kamu nggak bilang?"
"Itu barusan bilang."
"Ih, Brian!"
🌻🌻🌻🌻
Halooo!
Aku cuma mau nyapa aja sih.
Dadaah!
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...