"Lo nggak pernah dengerin gue. Percuma gue panjang lebar balesin chat lo. Ngapain sih lo ngejar-ngejar orang kayak gitu, padahal—"
Gue nggak tahu. Kayaknya—gue emang agak sedikit marah sama Nayla. Gue nggak suka sama ucapan dia seolah-olah Ica tuh cewek yang jahat banget.
Sebenernya, gue juga tahu kalau gue juga salah. Bertahun-tahun gue nyimpen perasaan ini tanpa Ica tahu gimana. Gue bahkan nggak inget, kapan pertama kali gue nggak lagi nganggap Ica sebagai tetangga gue sejak kecil.
"Tok, tok, Kak Jerre?"
Gue langsung noleh ke arah pintu waktu suara orang yang lagi gue pikirin tiba-tiba ada dibalik sana. Gue tersenyum, dia bahkan ga ngetok pintu. Gue yang tadinya lagi rebahan—langsung duduk di atas tempat tidur.
"Iya, Ca. Masuk aja."
Nggak lama, pintu kamar kebuka dan Ica masuk dengan senyuman lebar di wajahnya. Seketika, perasaan gue nggak enak.
"Serem, Ca. Senyum-senyum gitu. Kenapa lo?"
Ica nggak nutup pintu kamar. Dia langsung lari-lari kecil ke arah gue—dan duduk di bawah. Bukan di deket gue.
"Ica mau cerita." katanya sambil senyam-senyum. "Boleh?"
"Kapan Ica nggak boleh cerita?"
Ica yang tadinya duduk ngebelakangin gue, langsung noleh dengan semangat. Kelihatan banget, something good happened to her. Dia kelihatan, bener-bener seneng.
"Ica udah jadian sama Yugo, kak."
Nggak kayak Ica yang bahagia, gue nggak tahu harus pasang reaksi kayak gimana. Tapi, gue juga nggak sedih. Mungkin ada, sedikit. Tapi, kayak—gue udah duga sebelumnya dan gue cuma agak sedikit kaget.
"Oh ya? Kapan, Ca? Pulang nonton?" respon gue akhirnya.
Ica ngangguk-ngangguk, masih senyam-senyum yang bikin gue untuk pertama kalinya pengen Ica nggak usah senyum aja.
"Seneng banget ya?" tanya gue lagi, berusaha ikutan senyum.
"Kelihatannya?"
Banget, Ca.
"Bunda tahu nggak, tuh?" kata gue sambil ngacak-ngacak rambut Ica.
"Tahu dong! Ica langsung cerita."
"Ih, kok dibolehin Bunda sih? Ica kan masih kecil."
"Enak aja! Siapa bilang?!"
Gue nggak bales perkataan Ica. Gue cuma mandangin dia sambil senyum, dikit. Sementara Ica masih cerita, proses si Yugo ini ngajakin dia jadian. Yang tentu aja, sangat males gue untuk mendengar itu semua.
Tapi ini semua tuh kebiasaan Ica. Kebiasaan Ica yang selalu cerita ke gue karena dia tuh anak tunggal. Makanya dari dulu sampai sekarang, Ica selalu ngandelin gue. Entah itu soal motornya mogok di jalan lah, atau dulu waktu masih sekolah, nggak ada yang jemput dia.
Gue juga tahu, sampai kapan pun perasaan gue nggak bakalan sampai ke Ica. Karena gue pun ngerasa itu salah aja. Ica nggak pernah suka sama gue. Dia selalu nganggep gue abang kandungnya.
Harusnya, dari dulu gue pun tetap anggap Ica sebagai adik kecil yang selalu minta tolong sama gue.
-ooo-
'Bang, gue mau bilang aja sih ini... in case lo nggak tau, tapi plis jangan bilang gue yang kasih tau ya... itu, bang, anu... si Nayla pernah suka sama lo.'
Gimana gue nggak kaget waktu di kantor tadi, si Danu tiba-tiba ngajak gue mojok—bukan mojok yang kayak begituan ya. Iya, si Danu ngomong kayak gitu sama gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...