Semenjak hari itu, Brian semakin sering menghubungi Aneska. Entah itu sekedar mengomentari whatsapp story atau pun chat bertanya apa yang sedang Aneska lakukan.
Hari ini adalah hari Minggu, pernikahan Jose.
"Lo beneran nggak mau turun, Nes? Kita udah sampai sini..." kata Nayla cemas.
Aneska mengedarkan pandangannya pada basement tempat parkir hotel, dimana pernikahan Jose dilaksanakan. Aneska pun tidak tahu apa yang membuatnya sampai disini. Kemarin, ia sudah yakin tidak akan datang ke acara ini, apalagi setelah bertanya kepada Brian. Tetapi entah kenapa, setengah dari dirinya ingin datang. Namun begitu sudah sampai parkiran, Aneska enggan untuk turun dari mobil. Ia mendadak takut. Harusnya, ia tak datang dan mendengarkan perkataan Brian.
"Sori, Nay..." gumam Aneska tak jelas, sambil memainkan ujung dress putih yang ia pakai.
Nayla menghela nafas, "Ya udah, Nes. Gue turun ya? Lo nggak apa kan disini? Gue cuma mau ketemu Juni, setelah itu gue langsung kesini. Oke?"
Aneska hanya mengangguk lemah. Nayla terlihat tak yakin, namun ia juga tidak punya pilihan lain. Ia akan turun dari mobil, mencari adik Jose, Juni, yang juga merupakan temannya dan Aneska untuk memberi salam. Setelah itu ia akan kembali lagi dan mengantar Aneska pulang.
"Tunggu ya, Nes." kata Nayla sekali lagi lalu buru-buru menaiki lift menuju gedung pernikahan Jose.
Aneska memandang punggung Nayla yang sedang berlari kecil melalui kaca spion. Harusnya ia benar-benar tak datang dan merepotkan Nayla. Sepintas, wajah Brian terbayang dibenaknya. Ia harap Brian ada disini dan menemaninya.
-ooo-
Brian melangkahkan kaki masuk ke dalam Gedung pernikahan Cerlia. Beberapa orang yang mengenalnya terkejut dan bertanya-tanya, apa yang cowok itu lakukan di pernikahan mantan kekasihnya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa putusnya Brian dan Cerlia bukan dengan cara yang baik.
Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang, Brian berjalan menuju pelaminan, tempat dimana Cerlia bersanding dengan suaminya. Dan orang itu bukanlah Brian yang menemaninya selama 8 tahun. Dari jauh, Brian dapat melihat Cerlia terlihat bahagia, dengan senyum indahnya, sibuk menyalami tamu-tamu undangan.
"Gue udah biasa sih, diliatin karena ganteng. Tapi hari ini kok risih banget ya rasanya?" sahut Jerremy dari belakang. Brian menoleh, memilih untuk tidak melawan perkataan Jerremy karena hari ini temannya itu sudah bersedia menemaninya.
"Mungkin hari ini lo kelihatan ganteng berkali-kali lipat karena make kemeja warna hitam." balas Brian santai.
Jerremy mencibir, "Gue tau lo muji gue cuma karna gue nemenin lo hari ini kesini."
"Ya iyalah! Masa gue muji lo dengan ikhlas sih? Gue masih normal." balas Brian lagi.
Jerremy mendengus kesal. Lalu matanya terarah ke pelaminan, menatap Cerlia menyalami tamu-tamu undangan dengan tampang tak bersalah. Hal itu membuatnya kesal, "Gue yakin itu senyuman sok cantik dia bakalan ngilang pas yang mau nyalamin dia itu elo."
"Bagus dong. Kan dia yang ngundang gue?" kata Brian dengan percaya diri, "Ya udah. Gue mau kesana dulu, lo nggak usah makan disini ntar sakit perut."
"Lah terus?!" sahut Jerremy kaget, "Gue laper, Bri!"
"Ntar gue traktir. Lo minum aja atau makan buah kek." ujar Brian lalu meninggalkan Jerremy sendirian.
Brian mendongakkan wajahnya, berjalan menuju pelaminan. Ia menarik nafas dalam-dalam. Bohong jika dibilang dia tidak grogi. Semakin banyak mata yang menatapnya tapi Brian tidak peduli. Ia ingin menunjukkan pada Cerlia bahwa ia tak takut datang kesini. Bahwa ia sama sekali tidak merasa kehilangan Cerlia. Bahwa ia sudah rela dan ikhlas. Bahwa ia ingin berterima kasih kepada Cerlia.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...