Waktu bangun, tahu-tahu yang pertama kali Jerremy lihat adalah langit-langit kamarnya. Cukup lama ia terdiam dan berpikir, kenapa ia tiba-tiba bisa berada di kamarnya sendiri.
Belum lagi, ada Anjani di kamarnya yang sedang memegang sebuah bingkai foto, yang masih belum sadar bahwa Jerremy sedang memperhatikannya.
Kok ada Jani? Kok gue di kamar?
"Jerre? Lo udah sadar?"
Jerremy masih tidak bergeming bahkan setelah Anjani meletakkan kembali bingkai foto tersebut pada tempatnya lalu menghampirinya. Raut wajah Anjani terlihat sangat cemas.
"Jani... lo... kenapa disini?"
Anjani menghela nafas lega. Ia duduk di kursi dan menatap Jerremy nanar. Seandainya Jerremy tahu bagaimana paniknya Anjani saat tiba di rumah Jerremy, dan melihat cowok itu menabrak pohon karena menghindari kucing yang melintas.
Tidak terlalu parah memang. Tapi cukup untuk melihat Anjani menangis karena melihat Jerremy yang pingsan.
"Jani?"
Anjani melirik Jerremy lagi yang barusan memanggilnya dengan nyaris berbisik.
"Lo kenapa ada di rumah gue? Bukannya... lo bilang..."
"You're fine now, Jerre." ujar Anjani memotong perkataan Jerremy. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan mengambil tas yang terletak diatas meja. "Gue pulang dulu—"
"If I tell you not to go, will you stay?"
Anjani perlahan memutar tubuhnya untuk menatap Jerremy. Jerremy masih terlihat lemah. Namun matanya terlihat tulus. Tapi, Anjani tidak tahu maksud cowok itu.
"....I just wanna you to stay here. That's all."
Bak magic spell, Anjani menuruti perkataan Jerremy. Ia kembali duduk di kursi itu. Tanpa berkata apa pun, ia hanya menatap Jerremy.
Jerremy tersenyum. "Ngomong-ngomong, gue kenapa?"
"Lo nabrak pohon." balas Anjani. "Lagian, lo mau kemana sih? Sampai buru-buru gitu?"
Jerremy kembali menatap langit-langit kamarnya. Samar-samar, ia sedikit ingat saat ada dua ekor kucing yang bertengkar dan tiba-tiba melintas di depannya dengan sangat cepat sehingga membuat Jerremy terkejut dan menabrak pohon.
Tentu, ia juga ingat alasan ia buru-buru pergi.
"Gue mau ketemu lo." jawab Jerremy.
Nafas Anjani tercekat. Terlebih lagi saat Jerremy tiba-tiba menoleh padanya dan menatap kedua matanya dengan lekat.
Jerremy tersenyum lagi. Senyum yang selalu saja membuat Anjani akan selalu memaafkannya. Tapi entah kenapa, malam ini beda.
Jerremy membalikkan tubuhnya lalu mengambil tangan Anjani. Entah Jerremy tahu atau tidak, tapi Anjani berharap Jerremy tidak mendengar detak jantungnya.
"I wanna tell you something." bisik Jerremy. Lalu kemudian menutup matanya. "But, later. When I'm better. Tunggu... ya, Jani..."
Jerremy tertidur. Anjani meneteskan air matanya dan berharap Jerremy tidak tahu soal itu. Anjani tidak mau berharap banyak.
Perlahan, Anjani tersenyum tipis sambil memandang Jerremy yang tengah tertidur pulas. Jerremy harus tahu, kenapa Anjani tiba-tiba datang ke rumahnya malam ini.
-ooo-
"Maaf, Martin."
Martin awalnya mengerjap-ngerjap kebingungan. Bukankah ini sedikit kejam untuknya? Ia hanya mengajak Anjani makan malam, dan kata pertama yang ia dengar adalah maaf. Tentu, Martin langsung tahu apa maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...