Aneska kerap memandangi ponselnya yang sekarang sudah mati total. Tadi malam, saat ia buru-buru berangkat ke Bandara, ponselnya terjatuh hingga layarnya pecah dan sekarang tidak bisa hidup.
Aneska mendesah. Ia mengangkat wajahnya dan memandangi sosok Bapaknya yang sedang tertidur diatas ranjang Rumah Sakit dengan selang yang tersambung kehidungnya.
Tadi malam, saat Aneska baru saja tiba di Rumah, Eyang tiba-tiba menyuruhnya untuk siap-siap setelah mendapat kabar bahwa Anaknya, yaitu Bapak Aneska terjatuh di Kamar Mandi. Tentu saja, kabar itu membuat Aneska terkejut sekaligus panik dan menangis. Ia bahkan tidak sempat mengabari Brian.
Mereka beruntung karena ada penerbangan malam ke Jogjakarta walaupun harus menunggu beberapa jam. Sesampainya di Jogjakarta, mereka langsung menuju ke Rumah Sakit tempat Bapak dirawat. Aneska bahkan tidak mau ikut Eyang pulang ke Rumah orang tuanya yang ada didaerah Depok. Ia lebih memilih menemani Bapak di Rumah Sakit. Walaupun Ibuknya sudah bersikeras untuk menyuruhnya istirahat.
"Mbak, Nggak capek?" Ibuk yang baru saja keluar dari kamar mandi menghampiri Aneska yang sedari tadi duduk di kursi disamping ranjang.
Aneska menggelengkan kepalanya dan sekali-kali menatap ponselnya. Ia menghela nafas lagi.
"Mbak, kenapa? Lagi banyak kerjaan di Kantor? Kok dari tadi ngeliat hape mulu?"
"Hape aku mati, Buk. Nggak bisa idup. Jatuh pas mau berangkat." balas Aneska.
"Waduh, kok bisa sih, Mbak? Terus gimana? Ada yang penting ya, Mbak? Buruan diperbaiki, Mbak. Ibuk nggak apa-apa kok sendiri."
Aneska ganti menoleh pada Bapak yang masih tertidur tentunya. Tubuhnya naik turun walau agak susah bernafas menggunakan selang. "Tapi, Bapak belum tahu, aku disini." ujar Aneska pelan.
"Aduh, Mbak! Jangan terlalu cemas, Bapak nggak bakalan kenapa-napa." balas Ibuk.
Aneska sekarang menatap Ibuk lagi. "Ibuk lupa Eyang Bapak meninggal karena apa?"
Karena pertanyaan Aneska itu, Ibuk hanya diam. Mungkin teringat bagaimana Eyang Bapak meninggal.
"Eyang Bapak juga jatuh di kamar mandi, Buk. Besoknya, Eyang Bapak nggak ada. Makanya, Aku takut." kata Aneska lagi.
Ibuk tahu Aneska benar-benar mencemaskan hal itu. Ibuk juga sama cemasnya. Tapi, ia tidak mau menunjukkan itu kepada Aneska. Ia harus tetap tenang.
Ibuk tersenyum untuk menenangkan Aneska. "Mbak, Ibuk tahu Bapak itu laki-laki yang kuat. Mudah-mudahan nggak kenapa-napa."
Aneska menganggukkan kepalanya. Ia ingin kuat seperti Ibuk, ia juga ingin menguatkan Ibuk. "Tapi, aku perbaiki hapenya ntar aja deh nunggu Lia sama Nana pulang Sekolah."
"Kamu belum kabarin siapa itu namanya? Brian?" tanya Ibuk sembari tersenyum.
Melihat itu, ada sedikit rasa lega dihati Aneska sehingga ia pun ikut tersenyum. "Belum, Buk. Nggak sempat."
Aneska suda menceritakan tentang Brian kepada Ibuk dan Bapak lewat telepon. Sebenarnya, kedua orang tuanya pun sudah meminta untuk dikenalkan kepada Brian. Bapak apalagi. Maklum, Aneska juga punya pengalaman yang buruk. Pastilah itu membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Harus cepat dihubungi lho, Mbak. Kalo dia cemas, gimana?"
"Iya, Buk. Boleh nggak pinjem hape Ibuk? Aku kabarin lewat Instagram aja. Mudah-mudahan dia lihat."
Ibuk memberikan ponselnya dengan kening yang berkerut. "Lho, emangnya nggak tahu nomernya?"
"Belum hafal, Buk." balas Aneska sambil menyengir. Ibuk menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lalu mulai mengelap wajah Bapak dengan handuk basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...