Tidak cukup dengan keanehan yang terjadi antara Brian dan Jerremy, Wirga malah ikut menambahi.
Semenjak pertemuannya dengan Isha, Wirga kerap tersenyum di depan komputer atau bahkan ponselnya. Dia tak sabar bertemu lagi dengan Isha, dan mengobrol. Wirga sama sekali tak mempermasalahkan ketidak sempurnaan Isha, bersama dengan Isha sudah membuatnya senang.
"Jadi, gimana pedekatenya, Bang?"
Sang pemilik suara yang tak lain adalah Danu, tersenyum miring ketika Wirga terkejut karena kedatangan dan pertanyaan yang tiba-tiba, hingga membuat buku yang Wirga pegang terjatuh.
"Elo, Nu. Ngagetin." ujar Wirga sembari memungut kembali bukunya dan meletakkan diatas meja. Ia lalu menoleh pada Danu yang masih menunggu jawabannya. "Pedekate apaan sih, Nu? Siapa yang kayak gitu?"
"Alah, lo, Bang." balas Danu yang kemudian bersandar dimeja Wirga. "Udah empat hari, lo senyam senyum nggak jelas. Serem. Sama cewek yang di Kafe waktu itu kan?"
Mendengar pertanyaan Danu, Wirga tertegun dan memandang Danu sekilas sebelum akhirnya mengalihkan perhatian dan berpura-pura sibuk sehingga semakin membuat semuanya jelas.
Danu tersenyum mengejek lagi, "Ngaku aja deh, Bang. Cewek itu kan?"
"Emangnya kenapa kalo iya?" tanya Wirga setelah terdiam sejenak.
"Nggak kenapa-napa, Bang. Galak amat." balas Danu. "Tapi, lo nggak main-main kan? Kasihan lho."
Wirga terdiam lagi. Mendengar Danu menyebut kata kasihan, membuat pesan pertama Isha di radio. Saat itu Isha bilang, dia tidak mau dikasihani. Isha bilang, dia ingin dianggap sama walau ia tahu bahwa ia tak sama dengan yang lainnya.
"Isha bilang—"
"Tapi, kayaknya lo nggak main-main sih, Bang." ucap Danu memotong perkataan Wirga. Atau lebih tepatnya, Danu tak tahu bahwa Wirga ingin mengucapkan sesuatu karena posisinya yang membelakangi Wirga. "Soalnya, lo giat banget belajar bahasa isyarat."
Wirga tak lagi menatap layar komputernya. Ia malah memandang punggung Danu yang entah kenapa terlihat kesepian.
"Dia juga lucu. Cantik." lanjut Danu lagi.
"Nu, lo kenapa?"
Danu memutar tubuhnya dan menatap Wirga sejenak dengan tatapan bingung. Lalu sedetik kemudian, Danu tersenyum. "Nggak apa, Bang. Gue cuma mikir, semua sibuk dengan urusan masing-masing." setelah itu, Danu menghela nafas lalu kembali ke mejanya.
Wirga menatap Danu dengan kening yang berkerut lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Walau sekali-kali ia melirik ke meja Brian yang bekerja tanpa sepatah kata pun dan begitu pula dengan Jerremy yang sekarang sudah mulai agak bersuara seperti dulu tetapi masih tetap membingungkan.
Mungkin Danu kesepian karena teman-temannya agak sedikit berubah dan mungkin Danu ingin membantu, tetapi ia tidak bisa. Wirga sekali lagi menatap Danu, yang ditatap sibuk berbicara dengan Bella sembari menunjuk ke layar komputer. Wirga mengangguk mantap, mungkin ia akan bercerita soal Isha kepada Danu nanti.
-ooo-
Wirga mematung dimuka ruangan ketika melihat seisi ruangan kosong dan gelap gulita. Seingat Wirga, tidak sampai satu jam ia meninggalkan ruangan untuk memenuhi panggilan alam di Toilet. Dan Wirga ingat betul bahwa di Toilet tidak gelap seperti ini, Wirga yakin listrik di Kantor sama sekali tidak padam.
"Haloooo?" seru Wirga sambil perlahan berjalan masuk ke dalam ruangan. "Pada kemana nih orang...." gumam Wirga sembaril menggaruk lehernya.
Seketika lampu ruangan kembali hidup dan orang-orang muncul dari bawah meja mereka masing-masing, sambil berteriak—
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...