Sebenernya, gue masih nggak ngerti kenapa gue marah ke Jani.
Apa gue marah karena Jani nggak ngasih tahu gue kalau dia mau pindahan? Atau gue marah karena yang nolongin dia bukan gue? Melainkan—cowok lain yang dia anggap sebagai temen?
Atau, apa gue cemburu? Gue nggak tahu.
Selama ini, gue pikir, hanya gue temen cowok terbaik Jani. Bahkan ketika kita ketemu lagi, kita masih tetap berhubungan baik walau dulu sempat hilang komunikasi.
Gue berusaha ngilangin pikiran kalau Jani udah nggak suka lagi sama gue. Tapi, apa gue salah? Dan apa gue juga salah—gue tahu perasaan dia dan tetap berteman?
Siapa yang egois?
"Elo,"
Gue hanya mendengus ketika Brian tahu-tahu menyahut. Gue ceritain apa yang terjadi kemarin ke Brian, termasuk soal Ica yang sekarang udah punya pacar.
"Bukannya dulu gue udah ingetin lo, Jer?"
"Yang mana?"
"Tuh kan. Lo lupa." Brian sekarang udah berdiri disamping gue dan ikut mengamati Jakarta dari balkon. "Gue bilang, jangan bikin Jani berharap lagi."
"Gue nggak tahu bagian mana dari sikap gue yang bikin dia berharap lagi."
"Lo mau tahu? Semuanya." jelas Brian. "Selama dia di sini, lo selalu jemput dia, dan lo yang maksa. Lo juga perhatiin dia, lo juga komunikasi terus sama dia. Hal yang sama yang lo lakuin ke dia dulu dan lo nggak sadar. Lo emang pinter, tapi kalau udah urusan cewek, lo goblok banget."
Gue nggak membalas perkataan Brian yang sebenernya nusuk banget. Tapi dia benar.
"Sekarang, kalau lo emang nggak ada rasa apa pun sama Jani, lo nggak usah ganggu si Martin itu deketin dia."
"Gimana kita tahu kalau Martin itu cowok yang baik? Kalau dia brengsek—kayak cowok Jani yang dulu-dulu gimana?!"
Brian berdecak dan tersenyum miring. "Lo tahu? Satu-satunya yang brengsek dari dulu itu bukan mantan-mantan Jani, tapi elo, Jerre."
Perkataan gue ternyata menjadi boomerang buat diri gue sendiri. Gue tertegun dan ngerasa perkataan Brian itu bener banget. Gue tatap Brian lagi. Dia menggelengkan kepalanya terus berjalan masuk lagi ke dalam kantor.
Gue jadi keinget Danu yang waktu itu mau minta advice gue soal cewek dan nggak jadi. Gue bersyukur, Danu nggak jadi nanya ke gue. Karena gue yang sekarang aja... bener-bener butuh pertolongan.
-ooo-
'Jani, kita jenguk Cerlia, yuk?'
Gue masih di kantor. Kantor udah mulai sepi—bukan mulai lagi sih. Cuma gue sendirian sekarang di kantor. Lagi nunggu balasan chat Jani yang sampai sekarang belum dia read.
Gue nggak tahu apa dia sengaja atau emang belum baca. Nggak lama, ada balasan yang masuk yang bikin gue menaikkan alis.
'Nggak usah jenguk Cerlia, tapi gue mau ngomong sama lo. Kita ketemu di kafe yang kemarin, gue tunggu.'
Balasan chat dari Jani ini bikin gue deg-degan dan sekaligus takut. Nggak tahu kenapa. Akhirnya gue ambil kunci motor dan cabut dari kantor.
Nggak butuh waktu lama, gue nyampai di kafe itu setelah ngebut nggak jelas di jalan. Ternyata, Anjani lebih cepat dari gue. Dia udah duduk, di kursi yang sama dimana gue dan Nayla duduk kemarin. Dengan langkah ragu, gue berjalan menghampiri Jani.
"Jani," sapa gue.
Anjani menengok. Nggak kayak biasanya, Jani nggak senyum. Ia cuma mengangguk kecil dan nyuruh gue duduk. Walau bingung, gue tetap nurutin dia dan duduk di depannya.
"Lo udah lama?" tanya gue basa basi. Entah kenapa gue takut banget kalau-kalau dia mulai ngomong serius.
"Barusan juga kok." jawab Jani. "Gue mau ngomong—"
"Lo mau makan apa, Jan? Eh yang ini enak banget deh, Jan. Lo harus cobain."
"Jerre—"
"Gimana kalau yang ini, Jan? Ini juga enak banget."
"Jerre, please."
Anjani terdengar desperate. Gue pun menghentikan basa basi gue dan natap wajahnya. Tapi Jani malah nurunin pandangannya, seolah dia nggak berani untuk natap mata gue.
"Martin nembak gue, Jer."
Pernyataan Anjani yang ini, lebih bikin gue syok dibanding cerita Ica kemarin, waktu Ica cerita kalau dia udah jadian sama Yugo.
"...Terus?"
"Gue... gue mungkin bakalan jadian sama Martin."
Mungkin?
"Gue ngasih tahu ini ke lo, sekaligus pengen bilang... kalau gue nggak bisa ketemu lo lagi, Jer."
"Apa hubungannya?"
"Gue mau coba bales perasaan Martin. You don't have idea, how nice he is towards me, Jerre. I wanna try with him."
"Hubungannya apa? Sampai-sampai lo nggak bisa ketemu gue lagi?"
"Lo masih tanya?" Anjani sekarang udah natap gue lagi. Matanya udah mulai berair. "Setelah apa yang nggak sengaja gue bilang kemarin, lo masih nanya, Jer?"
Gue nggak bisa jawab pertanyaan Jani. Tapi perasaan gue nggak enak. Gue nggak mau, gue nggak mau Anjani pergi dari gue.
"Jerre," panggil Jani lirih, suaranya tercekat. "Gue pikir, gue bisa lupain lo. Tapi ternyata gue salah. Gue seneng banget setelah kita ketemu lagi, kita jadi sering komunikasi dan ketemu. Gue pikir, gue punya harapan buat dapatin hati lo. Tapi gue yang sakit sendiri, Jer. Gue nggak kuat buat selalu ada di dekat lo. Lo nggak pernah bilang kalau lo sayang sama gue, Jer. Gue nggak tahu harus gimana, selain pergi duluan buat ninggalin lo."
Gue diem lagi. Gue emang pengecut. Pengecut yang nggak bisa sampaikan isi hatinya. Gue marah, marah sama diri sendiri.
Anjani kemudian berdiri, membuat kursi yang dia duduki sedikit berbunyi. Gue bahkan nggak bisa natap wajah Jani.
"...Gue duluan ya, Jer."
"Don't go, Jani. Please."
Walau gue nggak lihat, Jani menoleh untuk menatap gue. Lama.
"Jerre, apa lo sayang sama gue?"
Gue perlahan mengangkat wajah dan menatap lurus ke Jani. "I do, but..."
Anjani tersenyum lemah. Setelah itu, Jani pergi. Gue harus kejar. Gue belum selesai ngomong. Tapi gue nggak bisa. Tubuh gue menolak untuk mengejar Jani.
Gue goblok. Bener-bener pengecut.
🌻🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...