35 - Fallin'

2.3K 417 20
                                    

"Ini... Brian waktu kecil?"

Aneska menatap lekat-lekat sebuah lembar foto yang ia pegang sejak semenit yang lalu. Matanya tak kunjung lepas dari selembar foto tersebut. Sementara di depannya, Mama Brian menatapnya sambil tersenyum yang kemudian mengangguk.

"Lucu kan, Nes? Dulu gemesin banget." ujar Mamanya dengan senyuman yang lembut.

Aneska terkekeh, "Kalo sekarang, Tan?"

"Kalo sekarang, udah nggak gemesin. Tapi, suka bikin Tante kangen." balas Mama Brian dengan senyuman kecut. Aneska mengerti senyuman itu. Seperti halnya Mama Brian yang merindukan anak satu-satunya yang jauh darinya, Aneska juga sangat merindukan keluarganya yang jauh di Yogyakarta sana.

"Tante nggak mau pindah lagi ke Indonesia?" tanya Aneska tiba-tiba.

"Mau dong, masa nggak mau." Jawabnya, "Nanti, setelah kamu dan Brian ngasih Tante cucu."

Aneska mengerjapkan matanya berkali-kali lalu ia terkekeh pelan. Melihat Aneska yang tertawa, Mama Brian pun ikut tertawa.

"Neska panggil Mama juga ya. Jangan tante. Kan, sebentar lagi bakalan jadi anak Mama."

Aneska tidak tahu bagaimana perasaannya ketika Mama Brian mengatakan itu. Ia hanya menatap Mama Brian sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dengan canggung dan tersenyum. Mama Brian mengusap rambutnya.

Aneska bernafas lega. Ia tidak tahu bahwa ia akan diterima dengan begitu mudahnya di dalam keluarga ini. Mama Brian pun sangat baik kepadanya, walaupun ini adalah kali pertamanya mereka bertemu.

"Mama agak kaget waktu Brian cerita, kamu punya masa lalu yang hampir sama dengan Brian." ujar Mama Brian. Ia menoleh ke arah Brian dan Papanya yang sedang mengantri untuk membayar kopi. "Tapi, Mama yakin itu kayaknya sudah diatur sama yang diatas."

Aneska tersenyum, "Sepertinya begitu... Ma,"

Mama Brian terkekeh lagi saat Aneska dengan malu-malu memanggilnya dengan sebutan yang baru. Aneska sendiri sudah menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona.

"Waktu Brian dikhianati seperti itu, Mama sedih sekali. Belum lagi, Mama sangat mengenal dia itu perempuan yang bagaimana."

Aneska mendengarkan Mamanya Brian bercerita. Walau sekali-kali ia melirik Brian yang masih setia mengantri ditemani Papanya.

"Kamu udah pernah ketemu dia belum, Nes?" tanya Mamanya tiba-tiba.

Aneska tercekat ketika Mamanya bertanya demikian. Perasaannya selalu tidak enak setiap kali ada yang membahas Cerlia atau bahkan ketika nama itu keluar dari mulutnya sendiri.

Aneska akhirnya mengangguk, "Pernah, Ma. Dua kali."

"Kata Brian, sekarang dia sakit?"

"Iya, Ma. Dia sakit." Aneska mengangguk lagi.

"Kasihan, tapi itu karma buat dia." balas Mama Brian lagi. "Eh, maaf, kamu nggak suka ya kalo Mama bahas tentang Cerlia?"

"Ah, enggak kok, Tan—Ma. Aku udah biasa aja,"

"Syukur deh... Mama pikir kamu nggak suka atau malah kesel."

Aneska hanya tersenyum lemah. Bohong jika Aneska merasa biasa saja saat ia membicarakan Cerlia. Bohong jika ia tidak merasa canggung. Tapi di depan Mamanya Brian, Aneska hanya diam dan mendengarkan.

Mama Brian pun pasti merasa sangat sakit hati saat Brian mendapat masalah yang seperti itu. Akan tetapi, Aneska merasa bahwa Brian tidak menceritakan masalahnya dan Cerlia secara menyeluruh. Terutama dibagian Cerlia yang masih mengharapkan Brian kembali bersamanya. Tetapi, Aneska tidak mau terlalu banyak bertanya.

"Orang yang didepan kita lama banget mesennya," Brian tiba-tiba datang sambil menggerutu. "Makanya kalo mau mesen tuh kan bisa dipikir pas lagi ngantri. Lama banget,"

"Kenapa sih kamu ngomel mulu?" sahut Mamanya.

"Itu!" balas Brian dengan wajah yang masam. Aneska terkekeh pelan melihat tingkah Brian yang entah kenapa menjadi seperti anak kecil didepan Mamanya.

"Lagi pada cerita apaan sih? Kok kayaknya serius banget," ujar Brian lagi.

Aneska dan Mamanya saling pandang lalu mereka tersenyum. "Ada deh, urusan perempuan!"

-ooo-

"Mama kamu asik deh,"

Brian menarik rem tangan mobil lalu menoleh pada Aneska yang sedang duduk disampingnya. Setelah berjalan-jalan tadi, mereka mengantar orang tua Brian ke Hotel tempat mereka menginap terlebih dahulu. Setelah itu, Brian mengantar Aneska pulang.

"Nggak galak kan?" kata Brian sambil tertawa.

Aneska balas tertawa, "Enggak kok! Baik banget malah. Aku disuruh manggil Mama juga,"

"Makanya, tadi siang aku bilangin kamu nggak perlu cemas, Mama tuh baik banget kok. Dan mudah akrab kalo emang Mama suka sama orangnya."

"Berarti, Mama udah suka sama aku?"

"Iya dong! Pilihanku nggak pernah salah," ujar Brian, "Walau yang dulu itu ternyata salah sih..."

Aneska tertawa lagi lalu seketika ia berhenti tertawa dan menatap Brian dengan serius. "Sekarang, kabarnya dia gimana, Bri?"

Brian terdiam sejenak. Jemarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Ia kemudian mendesah, "Jerre bilang sih dia belum ada kemajuan. Tapi, you don't have to worry her, Nes. That's not our problem anymore."

Aneska menggelengkan kepalanya, "But, you're worried about her, Bri."

"Nah, let's forget and not talk about her anymore." Brian memaksakan sebuah senyuman, "Aku bakalan turun dan sapa Eyang bentar—"

Perkataan Brian terpotong saat Aneska menarik tangannya. "Bri, aku tahu kamu bakalan marah kalo aku bahas ini sama kamu. Tapi, kamu jangan maksain diri. It's okay. Aku janji, aku nggak bakalan marah sama kamu. Aku janji."

Brian perlahan tersenyum, "Really?"

Aneska mengangguk dan memantapkan hatinya sendiri. Kali ini, ia benar-benar tidak akan marah lagi. Ia tidak akan meragukan perkataannya sendiri. Mungkin, Brian harus mengatakan sekali lagi kalimat-kalimat yang membuat Cerlia harus benar-benar melepaskannya dan menyayangi dirinya sendiri lagi. Dan Aneska akan ikut dengannya.

Brian menatap Aneska lekat-lekat. Seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri, apa yang ia lakukan sampai akhirnya bisa bertemu dengan wanita sebaik dan sehangat Aneska.

Brian mendekatkan wajahnya pada Aneska. Saat Aneska pikir, itulah saatnya, tapi Brian justru mengecup keningnya. Ia lalu tersenyum dan menatap Aneska lagi dan berkata,

"I will save it for later, after we get married."

Aneska tersenyum. Senyuman yang menyatakan bahwa ia pun bersyukur sudah bertemu dengan Brian.

Oh, Brian, What should I do to you?

When We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang