15 - Fluctuate

2.7K 445 44
                                    

Suasana kantor sedang serius. Mereka seperti sedang dikejar oleh deadline yang tiada hentinya semenjak Satria, Jerremy, dan Stella pergi ke Korea untuk rencana akan didirikannya kantor cabang disuatu kota besar lain. Sudah beberapa hari ini, Brian disibukkan dengan meeting kemana-mana hingga membuatnya lelah dan pusing dan juga tak bisa berkonsentrasi.

Kejadian empat hari lalu setelah melihat Cerlia ada didepan kosannya terus menghantui. Pikirannya sedang kalut dan ia menjadi stress karena itu. Tak jarang pula, Brian jadi kembali merokok saat melihat Danu sedang merokok diluar kantor. Saat ditanya, Brian bilang ia sudah berbaikan dengan Aneska, tapi ia tak cerita soal Cerlia. Karena, hanya Jerremy yang benar-benar tahu soal hubungannya dengan Cerlia.

Jerremy masih belum bisa pulang. Brian sempat menghubunginya, tetapi hanya membahas soal Aneska. Entah kenapa, ia tak ingin memberitahu perihal Cerlia kepada Jerremy. Tetapi ia juga capek untuk menahan itu semua sendirian.

"Shit," rutuk Brian. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi lalu memijit keningnya. Sontak bayangan kehadiran Cerlia di malam itu, membuatnya kembali melamun.

"Brian,"

"Cer?"

Brian awalnya tak bergeming. Ia terlalu terkejut melihat Cerlia—mantannya yang meninggalkannya begitu saja untuk pria lain, sekarang ada di depan kosnya.

"Bri," Cerlia tiba-tiba menangis lalu berhambur untuk memeluk Brian.

Brian tersentak lalu dengan segera melepas pelukan Cerlia. Ia menatap Cerlia dengan tajam, seakan-akan tak cukup bagi perempuan itu setelah meninggalkannya.

"Ngapain lo?" ujar Brian dingin sembari memundurkan langkahnya, tak mau begitu dekat dengan Cerlia.

Perempuan itu masih menangis, matanya semakin bengkak. Jujur, Brian sama sekali tidak mau tahu alasan ia menangis. Yang ingin Brian tahu adalah, apa yang dilakukan mantannya itu di depan kosnya?

"Lo ngapain disini hah?" tanya Brian mulai emosi. "Lo pikir lo siapa?"

"Bri," Cerlia bergumam lirih disela tangisannya. "Please, dengerin aku bentar aja. Aku nggak tau lagi harus kemana selain ke kamu."

Brian tertawa mengejek, "Lo nggak punya malu atau gimana, Cer?"

"Bri, dia nipu aku!" teriak Cerlia. "Rayan nipu aku. Dia punya hutang dimana-mana dan sekarang dia kabur, ninggalin hutang-hutang itu atas nama aku. Aku—"

"Terus, hubungannya sama gue apa?" potong Brian.

Cerlia terdiam sembari menatap lekat kepadanya. Brian menatapnya dengan tatapan yang dingin, tak sekalipun memberikan sebuah tatapan simpati setelah apa yang Cerlia katakan.

"Eh, in case lo lupa, gue ingetin lagi, yang ninggalin gue itu elo. Urusan lo sekarang nggak ada sangkut pautnya sama gue." jelas Brian lagi. Brian menoleh memandang sebuah mobil jazz berwarna putih yang tak ia kenali sebelum masuk ke pekarangan. Brian menunjuk mobil tersebut, "Sekarang lo pergi, masuk ke mobil lo dan terserah mau kemana. Gue nggak peduli."

Cerlia ikut memandang tangan Brian yang mengarah ke mobilnya. Tangannya bergetar dan memandang Brian dengan ragu, dengan air mata yang kerap mengalir.

"Ini... emang kamu, Bri? Kamu kayak gini sekarang?" gumamnya lemah, terlalu terkejut dengan perubahan Brian kepadanya.

Brian berdecak, "Cuma ke lo. Sekarang, pergi. Tolong, gue males."

Cerlia menarik nafas dalam-dalam. Ia memandang Brian sejenak, berharap Brian akan luluh. Tapi ia salah, Brian tidak akan luluh. Tidak akan pernah.

When We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang