27 - Let It Be

2.3K 381 37
                                    

Brian mengisap rokoknya kuat-kuat di teras Kantor. Kejadian kemarin benar-benar membuatnya tambah setres dan entah kenapa dia jadi ingin merokok lagi. Sudah lama Brian berhenti merokok. Tetapi semenjak sering bertengkar dengan Aneska, ia kembali merokok lagi. Padahal dengan Cerlia saja, Brian tidak pernah melakukan itu.

"Woi, lo ngerokok lagi?" suara Jerremy yang baru tiba di Teras membuat Brian menoleh padanya sambil mengembuskan asap rokok ke arahnya. Jerremy melambaikan tangannya didepan wajah untuk membuat asap tersebut hilang. "Kenapa sih, Bri? Dari pagi muka lo suntuk."

"Gue belum mulai, tapi gue udah selesai sama Neska."

Jerremy membelalakkan matanya saat Brian mengatakan itu dengan santai. "Gimana maksud lo?"

"Neska suruh gue balik sama Cerlia, Jer." Lanjut Brian. Wajahnya mengeras, setiap ia mengingat perkataan itu keluar dari mulut Aneska, ia marah.

"Hah? Kenapa?" tanya Jerremy lagi yang masih belum benar-benar mengerti.

Brian menoleh padanya dengan sorotan mata yang dingin. "Lo nggak ngerti, kan? Gue apalagi."

Setelah mengatakan itu, Brian membuang rokoknya dan pergi meninggalkan Jerremy sendirian di Teras. Jerremy tahu hal ini akan terjadi.

-ooo-

Aneska tidak masuk kantor hari ini. Begitu bangun, hatinya terasa tidak nyaman. Ia tidak sakit, hanya saja ia tidak mau bertemu orang-orang apalagi Nayla dan Junior dengan kondisi wajah yang seperti ini. Aneska tidak pandai berakting.

Mengingat wajah marah Brian, Aneska kembali mengeluarkan air matanya dan menarik ujung selimut kuat-kuat hingga selimut itu kusut. Beberapa hari ini membuatnya bingung. Ia bahagia, lalu dijatuhkan lagi seperti ini. Tapi, Aneska juga tahu bahwa ini salahnya.

"Mbak," suara Eyang dari luar pintu terdengar. "Makan yuk?"

Aneska hanya melirik ke arah pintu lalu menarik selimut untuk menutupi sebagian seluruh tubuhnya.

Diluar, Imah memandang Eyang dengan cemas.

"Gimana, Buk?" tanya Imah pelan.

Eyang menggelengkan kepalanya lalu berjalan menjauhi pintu. "Nggak ada suara, Mah."

"Apa Mbak Neska masih tidur?"

Eyang hanya menghela nafasnya. Eyang sama sekali tidak tahu apa masalah Aneska dan Brian. Sejak Brian pulang tadi malam, Aneska terus menangis kencang tanpa cerita apa masalahnya. Eyang tidak punya pilihan lain selain menenangkan Cucunya itu.

"Telepon aja Mas Brian, Buk. Ibuk kan punya nomernya."

Eyang tidak yakin bahwa menelepon Brian adalah ide yang bagus. Tapi, mungkin Eyang bisa mencoba hal itu.

-ooo-

Suasana hati Brian memang sedang sangat buruk sekarang. Tak jarang ia membalas sapaan orang dengan ketus. Rekan-rekan di Kantor lalu memilih untuk tidak bertanya apa-apa lagi padanya.

Saat sedang asik bekerja, ponselnya yang ada diatas meja bergetar. Brian melirik benda itu dan tertegun begitu melihat nama Eyang dilayar ponsel.

Brian menjauhkan tangannya dari keyboard komputer lalu meraih ponselnya dan sedang menimbang-nimbang untuk mengangkat atau tidak. Beberapa detik kemudian, Brian mengangkat telepon itu.

"Halo? Brian?" sapa Eyang dengan suara paraunya.

"Iya, Eyang." jawab Brian setelah jeda lama.

"Brian, kamu kenapa sama Neska? Maaf kalo Eyang ikut campur."

Brian terdiam lagi sejenak lalu berkata, "Emang kenapa, Eyang?"

When We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang