"Bri, kamu ngapain malem-malem kesini?"
Brian menoleh begitu suara Aneska terdengar. Aneska berjalan menghampirinya yang sedang duduk dikursi teras sembari merekatkan jaket ditubuhnya. Malam itu, seperti akan hujan dan cuacanya terasa sejuk.
Brian tersenyum lemah, "Hai, Nes."
Aneska menghela nafasnya. Sadar akan kondisi Brian yang sedang aneh sejak beberapa hari kemarin. Malam ini, ia semakin aneh. Wajahnya terlihat lelah dan sedih.
"Kamu kenapa, Bri?" tanya Aneska setelah memperhatikan wajah laki-laki itu.
"Jerre udah pulang." Bukannya menjawab pertanyaan Aneska, Brian malah menyahut tentang hal lain. "Tadi, aku anterin dia."
Aneska hanya melirik sekilas mobil Brian yang terparkir di luar pagar. Aneska teringat saat ia melihat Brian tadi di Dine In. Setelah berpikir sebentar, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya. "Aku tadi liat kamu di Dine In, aku disana." ujar Aneska membuat Brian membeku. Ia perlahan menoleh pada Aneska, meminta Aneska untuk melanjutkan. "Ada Jerre juga. Lagi meeting ya? Serius banget kayaknya." lanjut Aneska.
Brian menelan ludah. Malam itu dingin, tetapi ia berkeringat seakan telah melakukan hal yang salah. "Nes... aku... tadi..." gumam Brian tak jelas dengan ragu.
Aneska memandangnya dengan serius, hingga keningnya terpaut. Brian menatap Aneska lagi lalu menghela nafasnya. "Tadi itu, ada Cerlia, Nes."
Waktu terasa terhenti untuk Aneska. Tenggorokannya terasa tercekat. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang walau setengah dari hatinya panik. "Apa?" ulang Aneska.
"Iya, Nes. Tadi, ada Cerlia dan Anjani, temen kuliah aku dan Jerre." Brian kembali mengulangi perkataannya dengan hati-hati. "Ada yang mau aku ceritain ke kamu."
"Ini ada sangkut pautnya sama yang kamu bilang urgent di kos?" tanya Aneska dan Brian mengangguk. "Ada apa, Bri?"
"Cerlia ditipu suaminya, Nes." kata Brian akhirnya, "Suaminya ternyata berhutang dimana-mana dan bikin hutang-hutang itu atas nama Cerlia. Rentenir nyariin Cerlia, kejar-kejar dia dan tiba-tiba dia nemuin aku. Awalnya aku marah, aku usir Cerlia tanpa dengerin ceritanya. Tapi, ternyata... dia lagi kesusahan banget."
Aneska belum merespon apa pun. Ia mendengarkan Brian dengan seksama hingga akhirnya Brian kembali bersuara untuk melanjutkan ceritanya.
"Terus, Anjani dateng dari Surabaya. Dia mau bantuin Cerlia buat nyari Rayan. Aku sama Jerremy juga. Tapi, aku bantuin dia tulus sebagai temen kuliah kok, Nes. Sumpah! Nggak ada maksud lain." lanjut Brian. "Waktu Cerlia nanya ke aku, apa aku benci dia? Aku diem bentar dan inget perkataan kamu. Kamu bilang, kalo aku benci berarti aku peduli sama dia dan berarti aku masih sayang. Tapi, aku nggak ngerasain hal itu lagi ke dia, Nes. Aku kasihan, aku simpati. Dia bukan lagi Cerlia yang aku kenal dulu."
Aneska meletakkan tangannya dipunggung tangan Brian. Aneska tahu, Brian sedang memikirkan banyak hal. Termasuk soal hubungan mereka sendiri yang masih simpang siur. Brian mendongakkan wajahnya dan menatap Aneska sejenak.
Aneska tersenyum lalu mengusap tangan Brian, "Makasih udah jujur ke aku, Bri."
"Aku nggak mau bikin kamu kecewa, Neska. Kamu percaya sama aku kan?" ujar Brian.
Aneska mengangguk, "Iya, aku percaya, Bri. Kalo ada yang bisa aku bantu pun, aku bakalan bantuin."
"Kamu... mau ketemu Cerlia?" tanya Brian hati-hati.
Aneska tertegun hingga akhirnya ia mengangguk lagi, "Kenapa enggak? Aku bakalan bantuin dia sebagai... sebagai perempuan yang sekarang bersanding disamping kamu."
Mendengar itu, Brian mengedipkan matanya berkali-kali lalu tergelak. Terlalu terkejut dengan pengakuan Aneska. "Kamu baru aja nembak aku, Nes?"
"Aku malu banget sebenernya bilang itu, Bri."
Brian tertawa lagi. Lalu ia menatap Aneska sambil tersenyum, "Makasih, Neska."
"Buat?"
"Kamu itu nyelamatin aku berkali-kali." kata Brian. "Banyak yang aku pikirin. Disaat aku sedang fokus ke kamu, tiba-tiba dia muncul dengan masalahnya. Belum lagi... ketemu dengan mereka bikin masalah lama Jerre dan Anjani muncul. Tapi, untungnya mereka nggak terlalu mikirin itu."
"Jerre dan Anjani?"
Brian mengangguk, "Dulu, kami berempat temenan sampai akhirnya aku jadian sama Cerlia, Nes. Awalnya, aku pikir cuma cukup sampai disitu. Ternyata enggak. Anjani suka Jerre dan Jerre terlalu bodoh untuk tau itu. Dan Anjani terlalu ceroboh buat ngungkapin perasaannya sampai-sampai Jerre bingung dan semuanya berubah. Anjani dapat kerjaan di Surabaya, dan mereka nggak pernah bertukar kabar lagi."
Aneska hanya diam mendengarkan Brian kembali bercerita. Pasti berat buat Brian. Masalah Cerlia membuatnya harus berhadapan dengan masa lalu. Bukan hanya masa lalunya tetapi juga cerita Jerre dan Anjani yang belum selesai.
"Bri, kamu tau kan aku bakalan selalu dengerin cerita kamu? Kamu cuma harus jujur sama aku. Kamu tau kalo kita sama-sama punya masa lalu yang buruk."
Brian mengangguk tanpa menoleh pada Aneska, "Aku tau. Aku nggak mungkin ngelakuin itu ke kamu, Neska."
"Ya udah. Kamu bantu apa yang bisa kamu bantu ya, Bri? Kamu nggak perlu nambah pikiran kamu sendiri dengan mikir kalo aku bakalan marah. Nggak, aku nggak marah. Aku percaya sama kamu."
Brian menatap Aneska lekat-lekat. Perlahan ia tersenyum bersamaan dengan bernafas lega. Setelah mengatakan itu semua kepada Aneska, hatinya yang tak tenang dan terasa berat pelahan mulai menipis dan tak seberat kemarin-kemarin.
Brian menatap Aneska yang sekarang sudah bercerita tentang kesibukannya sendiri. Pria itu tersenyum simpul dan berpikir, kemana saja dia selama ini dan kenapa baru sekarang ia dipertemukan oleh Aneska? Pikirnya, Aneska begitu baik, berhati lembut dan tenang. Lagi-lagi ia merutuki kesalahan terbesar Jose yang meninggalkannya.
Lo bodoh banget, Jose.
"Bri?"
"Iya, Nes?"
"Besok hari minggu. Kamu istirahat ya! Jangan nambah-nambah capek kamu. Inget sama apa yang aku bilang.
Brian mengangguk. Ia pun berharap hal yang sama bahwa ia besok bisa istirahat dengan leluasa.
🍃🍃🍃
Author's note :
INI APA LAGI AHAHAHA
Maap gaje maap kalo ngebosenin hahaha makasih buat yang udah tetep baca dan vote, maaf kalo ada salah salah ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...