Pertemuan Wirga kemarin dengan Isha, sangat tidak ia sangka-sangka. Wirga sempat sedikit mengobrol dengan Isha, walau hanya dengan buku kecil milik Isha. Percakapan mereka sedikit seru, sekali-kali Wirga tersenyum membaca isi buku Isha. Isha pun, terlihat sangat ceria walau ia tidak sempurna.
'Kak Wira udah nolongin aku.'
Tulisan Isha yang singkat kemarin, membuat Wirga tertegun dan terdiam sejenak sembari menatapi manik hitam milik Isha. Wirga sebenarnya tidak paham, apa yang Isha maksud dengan Wirga menyelamatkannya. Padahal Wirga merasa ia tak melakukan apa pun dan ia tak pernah menyelamatkan siapa pun.
Pernyataan itu belum terjawab karena seketika Danu datang dan menyadarkan Wirga bahwa ia masih punya pekerjaan yang sedang menunggunya. Isha lalu dengan buru-buru pergi, setelah melambai sekilas kepada Wirga.
Dengan canggung, Wirga membalas lambaian tangan Isha. Walau sebagian besar hatinya, masih ingin mengobrol dengan Isha.
"Sumpah ya, Bang Wirga tuh ngapain sih?"
Suara Arini yang sedang berdiri dibelakangnya, membuat Bella sedikit melirik gadis itu lalu kembali menoleh untuk melihat Wirga dari arah pantry. Bella menggedikkan bahunya, "Nggak tau, Rin. Sampai nggak ikut makan siang bareng yang lain coba." ujarnya.
Arini mengangguk-angguk. Sekitar 30 menit sudah berlalu, Wirga masih belum beranjak dari mejanya. Ia terlihat serius dengan mata yang fokus pada layar komputer dihadapannya. Tangannya tergerak-gerak lalu kemudian ia terlihat frustasi.
"Tuh orang ngapain sih?" sahut Danu yang tiba-tiba muncul dibelakang Arini. Sekarang, ketiga orang itu sudah terlihat seperti anak tangga.
"Nu, lo nggak makan sama yang lain?" tanya Bella.
"Orang kita makan di Kantin." jawab Danu cepat. Lalu kepalanya mengangguk ke arah Wirga lagi, "Bang Wirga belum makan ya?"
"Kayaknya belum deh." sahut Arini yang masih ikut memperhatikan.
Danu mendesah, "Ini kantor isinya kenapa aneh-aneh sih. Bang Brian sama Bang Jerre aneh, sekarang Bang Wirga. Pusing gue."
"Ya udah, lo jangan ikutan aneh, Nu." timpal Bella lalu kembali menyeduh kopi panasnya bersama dengan Arini. Meninggalkan Danu yang masih sibuk menatap Wirga dari kejauhan. Danu yakin, ini ada hubungannya dengan gadis yang kemarin ia lihat sedang tulis menulis bersama Wirga di kafe.
-ooo-
Sebuah senyuman merekah di wajah Wirga ketika ia membaca pesan dari Isha. Sekitar beberapa menit yang lalu, Wirga memutuskan untuk mengambil nomor Isha yang sebenarnya sudah ia catat sejak Isha rajin mengirimi pesan di Ponsel untuk Radio.
Wirga awalnya tidak begitu mengharapkan balasan dari Isha, namun ternyata Isha benar-benar membalas pesannya. Wirga pun tidak menyangka bahwa ia akan sesenang ini mendapat balasan dari Isha.
Dengan senyum yang terpasang di wajahnya, Wirga buru-buru mengambil tasnya dan melesat keluar ruangan tanpa mengucapkan apa pun kepada teman-teman satu ruangannya. Yang tentu saja menatapnya dengan heran.
"Kenapa tuh, Wirga?" suara Satria membuat Danu yang sedari tadi masih menatap Wirga lalu kini menoleh untuk menatap Satria. "Buru-buru amat."
"Dia aneh dari siang tadi tau, Mas." sahut Bella.
"Liat tuh, Komputer sampai nggak dimatiin." timpal Arini.
Danu kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati meja Wirga. Arini memang benar, Komputer yang ada di meja Wirga belum mati. Ia menggelengkan kepalanya lalu bermaksud mematikan benda tersebut tapi tangannya malah mengarahkan kursor ke google.
Sepertinya Wirga sedang ceroboh dan buru-buru, ia bahkan belum mengeluarkan apa yang ia lihat di Youtube sejak tadi.
"Haa? Belajar bahasa isyarat? Ngapain Bang Wirga belajar ini?" suara Arini yang tepat di telinga Danu mengagetkannya. Pria itu menatap kesal Arini dan bertanya-tanya, sejak kapan perempuan itu ada di belakangnya.
Danu menatap lagi layar komputer milik Wirga. Tentu Danu tahu untuk apa Wirga mempelajari itu. Danu menggelengkan lagi kepalanya lalu tersenyum sebelum akhirnya benar-benar mematikan komputer.
-ooo-
Wirga disini lagi. Di kafe yang kemarin, tempat ia bertemu dengan Isha. Berbeda dengan yang kemarin, ia menunggu dengan gusar. Entah kenapa jantungnya tak bersahabat dan berdetak dengan kencang.
Suara ketukan kecil diatas meja terdengar. Wirga tahu itu Isha, tapi begitu ia menoleh untuk menatap Isha, ekspresinya berubah melembut. Sore ini, Isha terlihat lebih cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai.
"Duduk, Sha." ujar Wirga setelah terdiam beberapa saat. Isha mengangguk lalu duduk didepan Wirga. Tangannya sibuk menulis lagi diatas bukunya.
Melihat itu, Wirga lalu dengan cepat mengetukkan tangan didekat jari-jari Isha dan membuat Isha mendongakkan wajah untuk memandangnya.
Wirga menarik nafas dalam-dalam lalu mempraktikkan beberapa gerakan bahasa isyarat yang ia ingat untuk mengatakan ini pada Isha.
"Aku... baru... dateng kok." kata Wirga pelan sembari memberikan bahasa isyarat.
Isha tertegun sejenak. Ia lalu terkekeh kecil dan kemudian tersenyum. Tapi, ia tak membalas Wirga dengan menggunakan bahasa isyarat. Isha tetap menulis.
'Kak Wira ga perlu repot-repot. Gini aja ya, Kak.'
Wirga membaca kata demi kata dengan lesu. "Maaf, Sha."
Isha menggelengkan kepalanya, memberikan tanda kepada Wirga bahwa itu bukan hal yang harus dipermasalahkan. Isha lalu kembali menulis.
'Kak Wira nerima kekuranganku aja, aku udah seneng. Ternyata, Kak Wira emang orang baik.'
"Nama asli aku, Wirga, Sha. Kamu boleh panggil aku dengan itu. Tapi, kalo kamu suka dengan nama Wira, juga nggak masalah." terang Wirga sembari tersenyum.
Isha mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat.
'Aku lebih suka manggil kak Wira. Nggak apa kan, Kak?'
Wirga tersenyum puas, "Nggak apa, Sha. Makasih."
'Terus, kenapa kakak mau ketemu?'
Wirga mengedipkan matanya berkali-kali begitu membaca tulisan dari Isha. Lalu matanya teralih untuk menatap Isha. Sejujurnya, Wirga bingung ingin mengatakannya. Wirga ingin tahu apa maksud dari perkataan Isha bahwa Wirga adalah orang yang menyelamatkannya. Tapi, Wirga yakin setelah ia tahu jawaban Isha, ia tidak akan memiliki alasan lain untuk bertemu dengan Isha lagi.
Wirga memandang Isha dengan ragu. Sorot mata Isha pun ikut memandangnya dengan ragu. Wirga akhirnya menyunggingkan sebuah senyuman. "Aku cuma pengen ngobrol sama Isha. Boleh kan?"
Isha terperangah mendengar jawaban Wirga. Lalu ia buru-buru menulis, kali ini dia tidak peduli tulisannya rapi atau tidak. Dengan segera, ia menunjukkan hasil tulisannya kepada Wirga.
'Walaupun Kak Wira nggak bisa denger suaraku?'
Wirga membaca kata demi kata tersebut dengan seksama. Isha tampak ragu, tampak khawatir sembari menunggu jawaban dari Wirga. Wirga lantas tersenyum lembut.
"Walaupun aku nggak bisa denger suara Isha."
🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Met
General Fiction[Completed] Kita bertemu untuk sebuah alasan. Entah itu berupa karunia atau hanya sebagai pelajaran. Ketika kita bertemu, kita saling tahu bahwa kita sama-sama spesial. Aku menganggapmu spesial dan kamu juga. Dari cara kita menatap satu sama lain d...