Extra Chapter : After We Met

3.6K 306 30
                                    

Ada banyak orang di dunia ini yang bertemu secara kebetulan. Salah satunya adalah saya dan Brian, yang hari itu tak sengaja bertemu di tepi kolam renang.

Kalau saya pikir-pikir lagi, agak lucu sekali, bagaimana cara saya bertemu dengan Brian hari itu. Sangat random. Tapi membuat saya senyum-senyum setiap saya mengingatnya.

Katanya, ketika bertemu dengan orang asing secara kebetulan, akan ada banyak hal yang terjadi. Ada yang berpacaran, ada yang saling melupakan, ada yang memutuskan untuk berteman saja. Dan yang paling manisnya adalah, ada yang menikah.

Menikah untuk bersama dan menciptakan sebuah keluarga kecil yang manis bukanlah perkara mudah. Untuk kesiapan pernikahan saja, saya dan Brian sampai harus ribut tidak jelas. Yang orang tahu, kita menikah begitu halus, tanpa ada masalah lagi. Tapi semuanya salah. Saya dan Brian, sempat sedikit ribut waktu itu.

-ooo-

"Brian, kamu bilang hari ini kita bakalan cobain makanan katering. Kamu yang ajak,"

Saya harus menahan emosi dengan sabar, saat tahu-tahu Brian membatalkan janji untuk bertemu 2 jam sebelum waktunya.

"Kan kamu sendiri yang bilang kalau hari ini tuh kamu free, kenapa sekarang malah batal? Kamu ini gimana sih. Sebentar lagi lho, Bri?"

Saya sedikit memicingkan mata saat tahu-tahu, Brian malah agak sedikit marah karena ucapan saya dan menyalahkan saya kalau saya ini tidak bisa mengerti pekerjaan dia. Padahal, yang seharusnya marah itu adalah saya. Tanpa mau mendengarkan omelannya lagi, saya langsung mematikan telepon dan duduk dengan diam di kamar saya.

Saya tahu Brian sedang sibuk dengan pekerjaannya. Malah, akhir-akhir ini semakin sibuk saja. Padahal, dia itu mau menikah. Kenapa harus sesibuk itu? Ponsel saya kembali berdenting. Saya hanya meliriknya sekilas dan melihat Brian mengirimkan pesan melalui aplikasi whatsapp.

'Plis, ngertiin aku nes,'

Minta dimengerti, katanya?

Huh, saya tidak pernah memaksa Brian untuk menemani saya mengurus segalanya untuk pernikahan ini. Saya bisa saja meminta Nayla dan Junior untuk menemani, atau pergi bersama Eyang. Tapi, Brian lah yang selalu saja meminta kepada saya untuk tidak pergi dengan mereka. Katanya, selama masih ada dia, kenapa harus merepotkan orang?

Sekarang lihat siapa yang merasa direpotkan. Dan dia malah minta dimengerti? Saya heran sekali dengan jalan pikirannya. Kalau saya menunggu dia tidak sibuk, bisa-bisa pernikahan saya batal lagi. Astaga, amit-amit.

"Mbak,"

Saya langsung mengganti ekspresi di wajah saya menjadi agak tersenyum, supaya Eyang tidak bertanya yang bukan-bukan.

"Kamu nggak jadi pergi?" tanya Eyang dari luar kamar saya.

"Jadi kok," balas saya sambil mengambil tas dan bangkit berdiri. "Tapi, aku perginya sendiri."

"Lho, Brian mana?"

"Mendadak ada kerjaan."

"Sabtu begini?"

Saya hanya mengangguk. Saya sudah tidak bingung lagi melihat Brian yang hari sabtu pun selalu bekerja sekarang. Bahkan Satria saja jauh lebih sibuk darinya. Nayla sampai berkali-kali curhat kepada saya tiap malam.

"Terus mau Eyang temenin nggak?"

Saya segera menggeleng. "Eyang istirahat aja ya? Aku bisa kok pergi sendirian. Kan cuma nyicip doang."

"Beneran?"

"Bener, Eyang."

"Ya sudah. Kamu diantar Pak Azis?"

When We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang