🌻Prolog : Anak yang baik

2.3K 160 2
                                    

GOOD KID

💜💜💜

Seokjin
10 Oktober 2009

"Ayo... Kita harus keluar dari sini!" Aku meraih tangan teman ku dan berlari ke pintu belakang kelas kami. Saat berlari di aula sambil melihat kebelakang, aku melihat beberapa lelaki keluar dari ruang kelas mengejar kami. "Berhenti ... berhenti di sana!" Suara-suara mereka mencekam leher kami.

Kami dengan panik menuruni tangga berfikir kemana harus pergi. Tujuan pertama yang terlintas difikiran adalah bukit belakang sekolah. Kami hanya perlu melewati lapangan dan keluar lewat gerbang sekolahan dan kami akan sampai dibawah bukit. Meskipun bukit itu tidak tinggi, tapi cukup berbatu dan tanahnya tidak rata. Setelah berlari melewati gerbang dan memutari tikungan dengan kecepatan penuh, Kami mengabaikan jalan setapak dan melompat ke semak-semak. Kami lewati dahan-dahan tebal sambil terus berlari. Kami berlari tanpa henti, dan akhirnya berhenti setelah langkah kaki dibelakang kami hilang.

Kami berbaring di tanah yang tertutupi dedaunan yang kering, keringat berjujuran dari wajah kami "Mereka tidak akan sanggup mengikuti kita sampai sini kan ?" Temanku mengangguk, bernafas dengan berat. Kami melepas kaos milik kami dan menyeka muka kami dengan hem tersebut. Muka temanku basah oleh keringat dan air mata. Pergelangan tangannya biru kehitaman karena memar. Kerah bajunya juga sobek.

"Ayah, tidak pulang ke rumah lebih dari seminggu. Ibuku terus-terusan menangis. Pembantu rumah tangga dan supir tidak lagi datang. Bibi bilang jika perusahaan ayah sedang bangkrut. Beberapa Laki-laki itu datang ke rumah kemarin malam. Mereka terus-terusan membunyikan bel dan memanggil ayah. Kami bertahan di dalam rumah dengan lampu yang dimatikan, dan mereka terus memaki dari depan pintu. Kami tidak bisa tidur sepanjang malam." Temanku menangis sepanjang ceritanya. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Yang bisa aku lakukan adalah menyuruhnya untuk tidak lagi menangis.

-

Tak lama ketika kelas dimulai, pintu depan terbuka dan empat atau lima pria masuk. Mereka mengacau dengan gegabah "siapa diantara kalian yang merupakan anaknya pak choi? Ayo ikut dengan kami" tertegun, guru kami meminta mereka untuk segera pergi, tetapi dengan gampang mereka tidak menghiraukannya. "Aku tahu kamu disini. Keluar sekarang." Beberapa anak yang duduk disebelahku mulai berbisik-bisik. Pria itu meperhatikan dan mendatangi kami. "Tidak bisakah anda melihat bahwa kami masih ada ditengah jam pelajaran. Silahkan keluar." Guru kami mencoba untuk menghentikan mereka tetapi salah satu dari mereka mendorongnya dengan keras ke papan tulis. Dia terjatuh.

Pria yang mendorong guru kami berjalan kearah kami dengan cara yang mengancam. Seluruh siswa menoleh kearah kami. Pria itu mencengkeram pundak temanku."Kami akan membawamu ke ayahmu dan mendapatkan uang darinya. Tentunya, dia tidak akan membiarkan anaknya pergi." Pria itu mengancam, suasana sangat menakutkan.

Aku melihat wajah temanku. Dia gemetar. Sangat gemetar dengan kepala tertunduk rendah. Dia adalah temanku. Aku menyentuh dan meraih tangannya di bawah meja. Dia mendongak dan ku tarik tangannya. "Ayo lari"


-

Langit semakin gelap, sepertinya tidak ada yang mengejar kami. Kami melalui pepohonan dan semak-semak menuju jalan setapak. Sebuah bangunan yang kosong dengan peralatan olahraga ada di hadapan kami. Aku bersandar pada bar dan temanku duduk di sebuah bangku. "Aku takut, jika kamu akan terkena masalah karenaku." Temanku terlihat kuatir ketika aku bilang padanya bahwa aku baik-baik saja. Yang aku fikirkan saat di ruang kelas hanya membawa temanku pergi dari sana. Aku harus menjauhkan dia dari para pria itu. Tetapi, ketika kami mulai berlari, aku sadar kami tidak punya tempat untuk pergi.

"Ayo ke rumahku" sekitar jam 9 malam karena waktu telah berlalu sejak matahari terbenam. Aku kelaparan. Dia pasti juga begitu. "Bukankah orangtua mu ada di rumah? Tidakkah kamu mendapat masalah jika kamu membawaku kesana?" "Kita bisa menyelinap. Jika kita mendapat masalah, maka kita mendapat masalah bersama." Rumahku tidak terlalu jauh dari kaki bukit. Sebentar lagi rumah ku mulai terlihat dari kejauhan. "Langsung masuk ketika gerbang terbuka dan sembunyilah di balik pohon. Kemudian Aku akan membukakan jendela untukmu."

Ibu sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Kemana saja kamu? Gurumu menelefon." Bukannya menjawab pertanyaannya, aku mengatakan padanya bahwa aku menyesal. Itu biasanya cara tercepat mengakhiri percakapan. Ibu bilang ayah sebentar lagi akan segera pulang dan berada di kamarnya. Kamarku berseberangan dengan kamar mereka dan ruang tamu ditengah-tengah. Aku segera menuju ke kamarku dan membuka jendela.

Kami mendengar gerbang terbuka saat bermain game di komputer setelah kami makan roti dan susu. Temanku memandangku dengan ketakutan. "Tidak apa-apa, ayahku tidak pernah masuk kamarku." Pintu kamarku seketika terbuka sebelum aku selesai berbicara. Kami berdua melompat dari tempat duduk dengan ketakutan.

"Apakah kamu anak pak choi?" Ayah melanjutkan tanpa menunggu jawaban
"Keluarlah, sesorang datang menjemputmu." Disana ada seorang laki-laki yang berdiri di pintu. Awalnya ku kira dia adalah pak choi, segera sadar ternyata bukan. Dia adalah salah satu pria yang ada di kelas sebelumnya. Aku menatap ayahku. Dia terlihat lelah dengan alis yang berkerut dan kelopak mata yang bergetar halus. Lebih baik tidak mengganggunya ketika dia dalam suasana hati seperti itu. Smentara ketika aku berudaha membaca raut wajahnya, pria tersebut masuk ke dalam kamarku dan meraih pundak temanku. Aku berada di depan temanku. "Tidak, ayah jangan biarkan orang itu membawa temanku pergi. Dia adalah orang jahat."

Dia terus menatapku dan tidak bergerak.
"Tolong, bantu dia ayah. Dia adalah temanku." Lelaki itu mencoba menarik temanku keluar. Aku memegang lengan temanku dan ayahku memegang pundakku. Dia memegang dan menariknya dengan keras. Aku harus melepas lengan temanku. Dia diseret keluar pintu. Aku meronta untuk membebaskan diri tetapi ayah mempererat genggamannya. "Sakiiiiiit" aku berteriak, tapi ayah tidak melepaskannya. Dia malah menggenggam bahuku lebih kuat. Air mata mengalir diwajahku.

Aku menatap ayah. dia seperti dinding abu-abu besar. wajahnya tanpa ekspresi, bahkan tatapan kelelahan kini hilang. Dia perlahan membuka mulutnya dengan mata tertuju padaku. "Seokjin, jadilah anak yang baik." Ayah masih memiliki tatapan kosong. tetapi aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dilakukan untuk menghentikan rasa sakit ini.

"Seokjin" aku menoleh pada temanku yang menangis. Dia lepas dari cengkeraman lelaki itu dan berlari menuju pintu. Dia menangis. Ayah, dengan sebelah tangan masih memegang pundakku, membanting pintu dengan tangan sebelahnya. Aku meminta maaf kepada ayah. "Aku minta maaf ayah, aku tidak akan membuat masalah lagi."

Hari berikutnya, bangku sebelahku kosong. Guruku bilang dia pindah sekolah.

💜

HYYH The Notes 1 [Terjemahan Indonesia] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang