"I am the child of a Lunatic. Not a child of God."
― Chuck Palahniuk, Choke
.
.
.
.
Soobin
Jelas sekali ayahku punya dunia yang berbeda di dalam kepalanya. Dua sisi mata koin yang saling bertentangan. Terlebih "mereka" bersaing dalam hal membentuk kepribadianku. Atau, kubiarkan mereka melakukan itu.
Aku sering terlihat seperti orang bodoh yang dilemma. Lama-kelamaan aku bisa menyaring mana yang baik dan buruk. Masalahnya, sisi manusia dan sisi gelap ayahku tidak bisa dipisahkan dalam dua kotak berlabel "Ini baik" dan "Ini busuk". Karena dua-duanya bisa saja baik, dan dua-duanya bisa saja menjerumuskan aku. Yang satu mengajarkan ambisi, yang satu mengajarkan tanggung jawab. Yang satu menyuruhku "Tampar saja wajahnya dengan penismu!". Yang satu bilang "Tunggu dulu, kau yakin cewek itu bakalan suka diperlakukan begitu?". Yang satu bilang "Dunia ini bukan tempat untuk orang-orang yang gampang menyerah". Yang satu dengan santainya bilang begini sambil minum dari kaleng bir murah "Nak, manusia tidak sempurna. Terima saja". Soft skill yang sangat bermanfaat. Aku terkadang bobrok. Aku terkadang bijaksana melebihi Gandhi.
Fakta bahwa kami ayah dan anak, satu darah, ini sinting memang. Kalau dipikir-pikir, keluargaku tidak masuk akal. Ibuku sibuk melakukan penyangkalan selama sisa hidupnya. Ayahku sibuk memastikan semua berada di bawah kendalinya.
Hanya aku dan ibuku yang tau bagaimana membedakan dua sisi mata koin yang rupanya sama namun berbeda. Ayahku tipe perokok sedang. Si "Madman" tipe perokok berat. Sering merokok menggunakan tangan kiri.
Aku tidak yakin dia kidal, tapi... entahlah, ini yang masih misterius.
Banyak yang bilang merokok mempercepat penuaan. Itu tidak berlaku untuk ayahku.
Ibarat kado... yang ternyata isinya kotak pandora. Ayahku terlihat seperti paket yang sempurna, paket yang diinginkan semua wanita. Paket impian mereka. Bahkan ibuku yang berusaha menggali apa isi kotak pandora itu kemudian tersaruk-saruk ingin memutar balik semuanya. Tidak, mereka tidak saling membenci. Aku masih bingung menggambarkan seperti apa mereka. Jika disuruh mendeskripsian mereka di atas selembar kertas putih, kayaknya aku pantas dapat nilai F saking bingungnya. Aku bingung sekaligus bangga. Sekaligus sayang mereka. Sekaligus tidak ingin melihat ibuku ragu-ragu terus.
F bintang-bintang untuk itu.
Jujur aku agak iri dengan kehidupan masa muda ibunya Yeonjun. Kehidupan liar gadis liar yang dimaklumi semua orang. Dia cantik, populer, berkeliaran dengan bebas mengumpulkan kenangan-kenangan. Nah, ibuku... di penjarakan ibunya, bertapa di kamar, membeli kaset untuk mengumpulkan poster, keliling menempel wajah orang lain di tembok. Orang-orang yang dia kagumi. Seolah-olah bisa menjangkau mereka. Seolah-olah dia bahagia berteman dengan mereka... dalam dunia khayalan. Batas antara dunia nyata dan dunia semu seperti bercampur di kepalanya, dia sendiri bingung membedakan yang mana nyata dan yang mana semu. Ini senjata favorit ayahku. Memanfaatkan kelemahan psikologis. Ayahku cerdik, juga licik.
Aku sering membayangkan ibuku diwawancarai orang-orang reality show penuh settingan yang kerjanya mengumbar hubungan orang, kemudian dia bersaksi begini dihadapan para penikmat gosip, "Menengok ke belakang, itu mungkin saat-saat paling membahagiakan dalam hidup kami. Kami sarapan bareng, berangkat kerja bareng. Kami memiliki minat yang sama. Dia benar-benar manis pada awalnya. Dia pencium terbaik. Dia bilang dia mencintaiku. Dan aku percaya padanya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
1001 Nights
Fanfiction[INI BUKAN REMAKE ALADIN!] Jungkook si IBLIS dari keluarga misterius. Jimin si Gadis biasa-biasa saja dari keluarga wartawan. Mereka bersatu di negeri penuh konflik Timur Tengah dengan cara yang tidak pernah mereka sangka. BTS Jornalist AU! Konflik...