33 part II

305 69 33
                                    

~Happy reading~

.

.

Paling gemes sama Taehyun jaman fetus

.

.

#Flashback#

"Eomma, kenapa berminat jadi koresponden perang?"

Taehyun pernah bertanya, yang dia dapatkan model-model jawaban bercanda khas Kim Seokjin.

"Karena terlalu membosankan jadi reporter yang meliput harga kenaikan beras di pasar."

Kemudian ayahnya menambahkan. "Nak, terkadang kita perlu membuka mata, kenaikan beras di pasar tidak ada artinya lagi jika anggota keluarga, ayah, ibu, kakak, adik, anak-anak yang paling kau sayangi tewas di depan matamu."

Taehyun paham orang tuanya adalah tipe-tipe profesional yang akan mengorbankan segalanya di medan perang demi meliput kebenaran. Mereka tidak pernah takut.

"Kalau begitu apa aku boleh jadi koresponden perang seperti kalian?" Taehyun pernah bertanya seperti ini sekali.

Seokjin diam seribu bahasa, sedangkan Namjoon hanya memberi satu senyum tipis, lalu kembali memelototi tayangan berita.

Dibalik satu cerita, para koresponden perang harus menepuh risiko dan bahaya kematian, cedera, penculikan, pelecehan, dan penjara. Mungkin itu sebabnya mereka tidak ingin darah keras kepala mereka menurun kepada putra mereka. Taehyun boleh keras kepala dan punya rasa ingin tahu tinggi, asal jangan sampai nekat terjun ke medan perang mengikuti jejak.

Ketika ditodong pertanyaan seperti ini: "Kenapa berani menghadapi ledakan? Rahasianya apa?"

"Nak, sulit untuk membuat orang peduli dengan apa yang kau tulis. Ini bukan tentang keberanian, tapi apa kau mampu menumbuhkan kepedulian." Namjoon mengusap-usap kepala Taehyun, bangkit dari kursi.

"Berarti kalian tidak pernah merasa takut?" Taehyun yang waktu itu masih sangat naif, polos, dan tidak pernah puas dengan satu pertanyaan.

"Takut..." Seokjin menggumam pelan ke diri sendiri. Tentu saja dia takut. Takut menjadi tua dan lamban dan tidak mampu lagi berlarian lincah menghindari misil, ledakan, serta hujan peluru dari segala arah.

Menjadi tua, salah satu ketakutan terbesar Seokjin. Meski pada kenyataannya manusia pasti menjadi tua dan lamban dan tidak mampu lagi melakukan pekerjaan berat seperti meliput kekacauan. Kalau sudah begitu, atasan selalu berusaha menggeser kita dengan wartawan yang lebih muda dan segar.

Di satu sisi, Seokjin benci dirinya yang sulit melepaskan diri, seolah ketagihan, kelewat bersemangat, lupa akan batasan dan terkadang lupa cara bersenang-senang. Seokjin sudah terlalu terikat kuat dengan konflik dan air mata. Ketidakmampuan Seokjin menemukan ketenangan dalam kedamaian lebih merupakan suatu penyiksaan. Bahkan saat dia menjauh dari semua itu, bayang-bayang kematian muncul dalam bentuk mimpi.

"Eomma mau ke Lotte World." Seokjin menyeringai. "Siapa yang mau ikut?"

Perang-perang di kepala Taehyun lenyap seketika, dia angkat tangan. "Akuuuuu!"

Bagi Namjoon, ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah mendapat kabar putranya tewas di medan perang. Dia sudah ribuan kali melihat anak-anak kecil mati sia-sia di usia yang sangat belia, masa depan mereka direnggut paksa. Darah bercucuran, organ tubuh hangus terbakar, kaki kiri hilang entah kemana, wajah dipenuhi luka. Taehyun tidak harus memilih jalan itu, ada banyak alternatif kehidupan yang lebih baik dan damai. Namjoon tidak ingin putra semata wayang mereka mengalami nasib serupa.

1001 NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang