Part 46

816 76 15
                                    

Hai hai hai... Sudah sebulan nggak ketemu ya... Maafkan author yang menghilang untuk sekian lama..

Ini masih suasana idul fitri kan ya.. Jadi author mengucapkan minal aidzin untuk semua pembaca, dan sekali lagi mohon maaf buat pembaca yang sudah menunggu terlalu lama.

Happy reading.. ❤❤
Ps. Yang udah lupa ceritanya bisa baca bab sebelumnya, soalnya author juga sempat lupa dan baca bab sebelumnya hehe...

***

Beberapa hari tinggal di kediaman Pradipta, membuat Nasya semakin terbiasa dan tidak secanggung hari pertama ia datang. Namun, tetap saja ada beberapa hal yang masih membuat Nasya sedikit segan untuk tinggal disini dengan segala pengaturan yang terlalu memanjakannya. Bagi Nasya yang terbiasa melakukan semuanya sendiri bahkan saat masih tinggal di keluarga Wijaya, dan tiba-tiba saat ini ia merasa tak bebas karena terlalu nyaman dengan bantuan para pelayan.

Satu-satunya hal yang ia lakukan dengan tenang dan senang hati hanya saat ia mengurus kakeknya dan menemani kakeknya fisiotherapi. Hal yang paling berat yang mungkin ia rasakan adalah kesepian tanpa adanya Stefan disisinya. Meskipun ini bukan kali pertama mereka tinggal terpisah, tapi kali ini pertama kalinya mereka berjauhan setelah mereka saling mengetahui perasaan masing-masing.

Terlebih saat ini Nasya masih merasa ada sebuah batu kecil di hatinya, sejak kebenaran akan kelahirannya terbongkar saat itu ia merasa ada yang berbeda dengan suaminya. Tapi Nasya tak bisa mengatakan hal apa itu, karena sikap Stefan setelahnya tetap lembut dan hangat padanya.

Duduk limbung di ayunan taman, manik mata Nasya tak berpaling dari layar ponselnya. Beberapa pesan yang ia kirim ke Stefan belum dibalasnya. Nasya tak berani menghubungi Stefan karena takut ia sibuk di rumah sakit, tapi biasanya setelah melihat pesannya tanpa ragu Stefan akan menghubunginya begitu dia ada waktu. Sepanjang sore Nasya mencoba menekan ketidaknyamanan di hatinya, berharap tak terjadi sesuatu pada Stefan. Kegundahan di hati Nasya makin tak karuan, akankah keputusannya untuk pergi dan tinggal disini mengurus kakeknya adalah kesalahan?

"apa kamu nggak merindukanku, Stefan??" gumam Nasya pelan.

Di tempat lain,
Raya yang sedang menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas balkon menatap lurus kedepan dengan mata berkaca-kaca. Ersya yang tak sengaja melihat Raya, kakaknya yang menyendiri mulai mendekati saudaranya itu. Beberapa saat diam, sebelum akhirnya ia memberanikan diri menyapa kakak pertamanya itu.

"kak Ray, besok papa ada janji checkup. Kalau kak Raya nggak pulang, papa juga nggak akan pulang. Memang, jika urusan pekerjaan, papa bisa melimpahkannya ke pegawainya. Tapi ini urusannya dengan kesehatan papa."

"kalian pulanglah, nggak perlu menunggu kakak. Kakak bisa mengatasinya. Kamu bujuk papa mama untuk pulang." jawab Raya lemah.

"lelaki itu nggak akan kembali kak, tolong terima itu."

Raya tetap diam, sejujurnya ia tak tahu apakah harapan itu masih ada. Di hatinya ia mulai meragukan cinta Cemal yang selama ini selalu ia ucapkan, tapi di hati kecilnya ia masih berharap Cemal bisa berubah dan bertanggung jawab akan kesalahannya, maka ia akan dengan senang hati tetap bersama Cemal dan menemaninya di masa sulitnya.

Ersya pun ikut terdiam melihat kediaman kakaknya, entah siapa lagi yang bisa menyadarkan kakaknya itu. Ia tak pernah kesal dengan sifat keras kepala kakaknya sebelumnya sampai pada saat kakaknya ini yang selalu teguh untuk tetap menunggu laki-laki sial itu. Di tengah lamunannya tiba tiba Ersya kembali ke kesadarannya setelah mendengar suara antusias Raya.

Cinta dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang