Pahamilah, bahwasanya aku sama dengan belati yang membuat sayat lalu bersarang duka pada nadi. Lalu kau sebut aku suaka. Mengertilah, bahwasanya aku adalah jurang yang saru. Aku yang sebenar-benarnya celaka, kau tahu?
aku tak pernah sebaik yang kau pikir, kau paham? ya. Begitu. Benar begitu adanya. Di lenganmu. Ada jejak durjana, karena aku. Terbukti, 'kan?
lalu, kau kemari tiap duka hadir, 'tuk apa?
Unttuk menambah penat?
kasih, aku adalah racun yang menyaru sebagai apa-apa yang matamu meloka seolah aku adalah obatnya. Dan kali ini mohonku padamu. Gunakan akal sehatmu lalu lihat aku–yang tiap hadirku hanya membuatmu sekarat.Mungkin katamu aku terlalu mengucap banyak hina pada diri, tapi sayangku, di sisi ini, hanya palsu dan busukku yang kau jumpa. Maafku padamu. Jikalau yang ku tampakkan padamu adalah yang seburuk-buruknya aku. Sungguh, di sisa-sisa isak dan teriak, aku mengutuk diri pada kaca atas racun yang telah ku tuangkan pada gelas harap orang tersayang.
Duhai, semesta, biarlah tiap kepak sayap burung yang hampir patah menjadi saksi atau pendengar setia pada senandungku tentang perih hatiku yang lirih. Semoga, semoga, semoga, di sisi baikku, aku dapatkan ampunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You
PoetryBiarkan lilin yang kau tiup tetap menyala. Terang dan gelap tiada jadi pembeda. Sedih dan senang adalah dua hal yang sama-sama perlu kamu nikmati. Ketegaran hati datang kepada kamu yang tetap terlihat begitu kuat, setelah patahnya yang begitu hebat...