Matahari bersungut-sungut.
Membekap mulut yang hendak beringsut.
Hujan peluru menghiasi aksi.
Dahaga mencumbu diri.Ibadah tetap kujalani, dengan sepenuh hati.
Kolong langit sedang meributkan hierarki.
Kupasang dada demi mengabdi pada negeri.
Seujung kuku pun aku tak gentar.Meraih senjata bagai pasangan di atas altar.
Siluet anak beserta istri membanting ekspektasi.
Tapi sekali lagi,
Gentar dan gemetar tak mampu menyalami!
Demi melindungi ibu pertiwi.Ibu sedang lara melihat anak cucunya belum merdeka.
Merdeka dari adu domba.
Negara tetangga tertawa.
Sungguh lucu melihat ibu pertiwi terdigdaya fanatisme rasa.Persatuan bagai mitologi negara.
Pudar dalam ikrar yang tak mampu dijaga.
Ke mana perginya arti pancasila?
Semudah itukah melenggang sirna?Ke manakah perginya toleransi?
Semudah itukah termakan literasi janji basi?
Ironi menyelimuti hari-hari.
Sanak saudara tak lagi dipeduli.
Pilihan sendiri dianggap harga mati!Baiklah, saatnya aku turun tangan sendiri.
Meninggalkan keluarga yang aku cintai.
Mempertaruhkan nyawa dengan mengabdi.
Semoga saja Tuhan melindungi.Di persembahkan bagi aparatur negara yang sedang berjuang mengamankan tragedi 22 mei, dan untuk ayah yang sedang pasang dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You
PuisiBiarkan lilin yang kau tiup tetap menyala. Terang dan gelap tiada jadi pembeda. Sedih dan senang adalah dua hal yang sama-sama perlu kamu nikmati. Ketegaran hati datang kepada kamu yang tetap terlihat begitu kuat, setelah patahnya yang begitu hebat...