Bab 25

218 14 0
                                    

Brukk..

Om Danu tersungkur ke lantai karena Fahmi memukul rahang nya dengan kuat.

"Fahmi pernah melakukan apapun agar bisa mendapat perhatian dari orang tua. Tapi itu percuma, dan Fahmi sangat menyesal pernah melakukan hal bodoh yang membuang-buang waktu. Fahmi gak pernah merasakan keberadaan orang tua. Sekarang pun Fahmi hidup tanpa campur tangan Papa. Jadi tolong jangan anggap bahwa Fahmi ini anak papa, dan berhenti ngusik kebahagiaan Fahmi yang tentu di dalam nya bukan ada Papa maupun Mama."

Om Danu masih pada posisi awal ia terjatuh, tidak berkutik sama sekali mendengar perkataan Fahmi yang begitu menohok.

Alih-alih sadar dengan ungkapan perasaan Fahmi, justru om Danu semakin marah dan ia mengeluarkan pistol di dalam saku celana kerja nya.

Ia bangun dan dengan cepat menekan pelatuk nya ke arah dada Fahmi.

Fahmi yang terkena peluru senjata api itu, perlahan terduduk sambil memegang dada nya yang mengeluarkan banyak darah. Dia masih tak menyangka, seorang ayah bisa dengan tega nya membunuh anak kandung nya sendiri.

Haluna menghampiri Fahmi yang sekarang sudah tak berdaya. Di pangku lah kepala Fahmi di atas paha Haluna.

Haluna menangis sejadi-jadi nya, "Ami! Ami harus bertahan ya. Ami gak boleh pergi ninggalin Luna, nanti Luna sama siapa? Plis Ami harus bertahan. Buat Luna." lirih nya.

Fahmi tersenyum lemah, tangan nya ia usapkan ke pipi gadis nya yang basah. "Jangan nangis."

"Ami harus bertahan! Jangan tinggalin Luna. Kita berjuang bareng-bareng ya."

Lama kelamaan mata indah itu tertutup dengan perlahan. Tangan yang awal nya mengusap pipi Haluna kini mulai turun dan jatuh tak berdaya. Tangis Haluna semakin pecah. Ia panik. Ia takut.

Fasha segera membopong Fahmi ke mobil , Haluna mengekori nya. Mereka dengan segera menuju rumah sakit.

"Bang kalo Fahmi kenapa-napa gimana?" tanya Haluna cemas.

"Kamu tenang, pasti semua nya akan baik-baik aja. Doain buat keselamatan Fahmi. Kita cuma bisa meminta dan memohon, selebih nya biar Tuhan yang menentukan jalan nya." ujar Fasha.

Haluna menatap Fahmi dengan penyesalan. Ya, ia menyesal. Kalau saja Haluna tidak bersama Fahmi , Fahmi tidak mungkin sesengsara ini. Bahkan Fahmi harus bertaruh nyawa. Sungguh Haluna bodoh! Seharusnya ia mencintai Fahmi diam-diam saja. Memilih untuk bersama malah menjadi malapetaka untuk kedua nya. Terlebih untuk Fahmi.

Tuhan..
Aku mohon jangan terjadi hal buruk yang akan menimpa ku. Jangan ambil dia, Tuhan.
Aku tau ini semua salah ku. Kalau saja aku tidak memaksa masuk di kehidupan nya, mungkin ia masih sehat sekarang.

Kalau saja aku dan dia tidak bersama mungkin ia akan hidup seperti biasanya.

Tapi..

Ini semua salah ku!

Jika engkau tidak merestui hubungan ku dengan Fahmi, pisahkan saja hubungan kami.

Jangan pisahkan dunia kami.

Sesampai nya mereka di rumah sakit, Fahmi langsung di bawa ke ruang IGD untuk di tangani lebih lanjut.

Haluna dan Fasha menunggu di ruang tunggu. Haluna masih saja terus menangis dan menatap kosong. Fasha yang menyadari itu, memeluk Haluna untuk menenangkan.

"Udh jangan sedih, kan udh di tanganin sama dokter."

"Tapi klo sampe terjadi apa-apa sama Ami gimana bang Aca? Luna gak mauuuu, hiks~"

Pintu ruang IGD terbuka, terlihat lah dokter dengan jas putih nya menghampiri mereka.

"Keluarga Fahmi?" tanya dokter.

"Saya pacar nya dok."

"Ada apa dok?" ujar Fasha.

"Pasien harus segera di operasi untuk mengambil peluru yang ada di dalam tubuh nya. Letak peluru itu hampir mengenai jantung, untung saja tidak tepat pada jantung nya. Bisa saja pasien tidak terselamatkan. Tolong hubungi keluarga pasien untuk menandatangani surat persetujuan tindakan operasi."

"Keluarga nya udh gak ada dok. Saya aja yang tanda tangani , saya yang bertanggung jawab atas Fahmi." ucap Fasha.

"Kalau begitu, silahkan ke bagian administrasi terlehih dahulu."

"Baik dok, saya akan segera ke sana."

Haluna memeluk Fasha dengan erat, "makasi bang Aca mau bantuin Luna dan Ami."

"Yang penting kamu harus kuat dan jangan nangis. Abang mau ke bagian administrasi dulu, Luna jangan kemana-mana. Tunggu abang balik  ke sini." Haluna mengangguk setuju.

***

Di lain tempat om Danu masih pada pikiran nya yang entah menyesal atau berhasil membuat pelajaran untuk anak kurang ajar nya. Ia juga sama tak menyangka nya bisa bertindak gegabah seperti itu.

Di dalam lubuk hati nya ia memikirkan Fahmi-- anak semata wayang nya. Biar bagaimana pun Fahmi tetaplah anak nya, dan ia tetaplah seorang ayah.

Om Danu mengusap wajah nya dengan gusar, " ya Tuhan! Apa yang aku lakukan?bodoh sekali aku menyakiti anak ku. Ayah macam apa aku ini?!"

"Ada apa Danu?" tanya nek Dian.

"Ibu? Sejak kapan ibu di sini?"

"Apa yang terjadi dengan Fahmi?" nek Dian tak menggubris pertanyaan om Danu.

"Akuu-- menembak Fahmi."

Nek Dian kaget bukan main, ia mengusap dada nya berusaha menenangkan.

"Apa maksud mu Danu? Apa kau sudah gila? Huh!?"

"Aku tidak bisa mengontrol emosi ku, bu. Tadi nya aku membawa pistol itu untuk membunuh Haluna. Tapi Fahmi membuat ku kesal dan akhirnya aku menembak nya."

"BODOH! sekarang di mana Fahmi?"

"Aku tidak tau. Fahmi di bawa Haluna dan Fasha. Mungkin mereka ke rumah sakit."

"Aku benar-benar salah mengikuti kemauan mu Danu! Anak Putra tak sebejat diri mu. Lihat diri mu Danu, kau sudah hampir membunuh anak kandung mu dan tak ada niatan untuk membawa nya ke rumah sakit. Hati mu sudah tak berfungsi? Sehingga tak punya perasaan bersalah ataupun kasihan? Haluna yang kau pisahkan dari Fahmi, ia masih menemani nya walau dengan keadaan sekarat." bentak nek Dian.

"Sudah lah ibu, nanti juga sembuh. Lagi juga aku tidak menembak tepat di jantung nya. Kemungkinan ia hidup itu besar." kata Om Danu dengan nada enteng nya.

"Aku muak dengan perkataan tak berdosa mu itu! Kau telah mencoba membunuh cucu ku. Aku akan memberi mu pelajaran."

"Apa? Ibu mau melaporkan ku ke polisi? Silahkan saja. Tapi itu tak akan terjadi. Sebelum ibu melaporkan ke polisi, nasib ibu mungkin akan sama seperti Fahmi. Bahkan lebih." tegas nya.

"Kau ini sudah gila Danu!"

"Memang."

HALUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang