Bab 47

212 10 4
                                    

Fahmi menutup buku bersampul hitam pekat. Buku itu bukanlah buku biasa. Melainkan sebuah diary yang setiap hari nya ia tulis kapan pun dan dimana pun.  Apalagi di waktu saat ia merindukan 'wanita nya'. Jika rindu mulai memuncak yang Fahmi bisa lakukan hanya video call , memandang foto dan video absurd Haluna dan terakhir--menulis beberapa deret kalimat yang mungkin nanti nya akan Haluna baca dan di kenang. Hey! Memangnya Fahmi mau kemana sampai-sampai harus di kenang? Seperti mau meninggalkan semua orang. Tidak-tidak, Fahmi tidak boleh berakhir sampai cerita ini rampung.

Waktu terus berjalan. Seolah mengalir cepat tanpa di beri jeda untuk beristirahat.

Seperti yang di alami Fahmi sekarang. Sudah terhitung dua tahun ia meninggalkan Jakarta. Bukan perkara mudah hidup sendirian di negara asing. Hidup nya seolah berubah 360°. Semakin parah, dan semakin menyakitkan. Ia lebih baik tinggal di Jakarta walau terus di beri celotehan om Danu yang semakin gila. Ketimbang harus tinggal di sini sendirian. Lebih baik telinga nya yang sakit dari pada hati nya yang sakit.

Meninggalkan orang-orang yang di sayang dan hidup sendirian. Hidup sudah rumit dan sekarang harus di tambah berteman dengan kesunyian.

Fahmi mencoret silang kalender. Menghitung hari demi hari yang ia rasakan selama di Berlin. Seperti tahanan saja.

Itu menjadi salah satu kegiatan rutin nya di sore hari.

Seseorang mengetuk pintu apartemen yang di tinggali Fahmi. Ia enggan untuk beranjak dari duduk nya. Biarkan saja, pura-pura tak ada orang.

15 menit berlalu, namun orang itu belum juga pergi. Malah sekarang bunyi ketukan pintu sudah berubah seperti ketukan rebana ibu-ibu pengajian di komplek rumah Fahmi.

Fahmi bangkit, lalu membuka knop pintu. Laki-laki itu menerobos masuk, Fahmi ikut mengekori nya.

"Lama banget si lo buka pintu nya. Sengaja?!"

"Bukan gitu bang. Tadi kaki gue kesemutan jadi lama bangunnya." Alibi Fahmi. Laki-laki itu menatap nya penuh selidik.

"Kemana aja lo 3 hari gak masuk kuliah?"

Fahmi menghela nafas berat. Berat sekali. Seperti beban hidup. "Lo kan tau gue disini bukan karena kemauan gue. Ditambah kuliah dengan jurusan manajemen, itu bukan gue banget."

"Iyaiya gue paham kok."
"Oiya, Luna minta gue foto sama lo."

Fahmi mengangguk menuruti perkataan laki-laki ini. Ia menggeser duduk nya lalu berselfie. Dengan senyuman yang ia buat sebahagia mungkin.

Fasha melihat hasil nya dan berkata dengan bangga, "ganteng banget gue."

Dan ya! Laki-laki itu adalah Fasha. Mungkin om Danu lupa kalau Fasha juga merantau ke negeri Jerman. Benar-benar suatu kebutulan yang membahagiakan, Fasha juga satu universitas+fakultas yang sama. Manajemen. Bedanya Fasha mengikuti kemauan sendiri dan Fahmi atas dasar keterpaksaan.

Fasha membawa pengaruh sedikit dalam hidup Fahmi. Berkat nya, Fahmi tidak terlalu merasa sendirian tinggal di lingkungan yang masih dan akan terus terasa asing.

"Bulan depan gue balik ke Jakarta. Paling dua mingguan si." Kata Fasha yang tetap berkutik dengan ponsel nya.

"Ngapain?"

"Gue mau tunangan."

"Belom juga wisuda lo, udh mau tunangan aja. Gak terlalu cepet?"

"Kasian Sasa, pacaran udh lima tahun lebih blm gue kasih kepastian. Kaya di gantung. Kan klo udh tunangan dia jadi lebih ngerasa klo gue serius." Fahmi yang mendengar nya hanya diam.

"Lo juga udh lama kan pacaran ama Luna?" Tanya Fasha yang di jawab anggukan.

"Terus gak ada rencana buat serius?"

HALUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang