"Caca mirip Luna ya bang? Liat deh, matanya mirip banget kan?"
"Sotau kamu! Jelas mirip abang dan Sasa lah. Kan ini anak abang."
Haluna merengut tidak mendapat pengakuan bahwa keponakannya yang baru lahir tidak mirip dengannya. Padahal mata Caca mirip sekali dengan Haluna. Iris mata yang hitam. Berbeda dengan Fasha dan Sasa yang memiliki iris mata coklat.
"Mirip kok." ujar Sasa.
"Tuh kan mirip! Luna tuh kembar beda ibu tau gak?!" Haluna menggendong Caca dengan hati-hati. Seolah anak bayi yang berusia sebulan adalah benda yang sekali senggol langsung pecah. Berkali-kali Haluna menciumi pipi keponakan pertamanya. Wangi khas bayi menyeruak dihidung Haluna saat ia mencium nya.
"Pengen ya punya bayi?" tanya Fasha. Haluna mengangguk. Entah maksudnya bayi yang dilahirkan darinya atau dari ibunya, alias seorang adik. Haluna tak sempat mencerna ucapan Fasha, ia sibuk menggoda Caca yang sedang merem melek terganggu diciumi terus-menerus.
"Makanya nikah dong."
"Luna kan belom lulus bang Aca, masih mikirin gimana bikin skripsi nanti."
"Masih belom moveon kaliiiii."
Sasa menyenggol lengan Fasha, agar sadar ucapannya barusan membuat Haluna sedih. Haluna tak munafik. Dilontarkan perkataan yang menyangkut laki-laki yang ia ikhlaskan susah payah, membuat nya mengingat lagi. Ingatan tentang banyak hal yang pernah ia lewati bersama Fahmi nya. Waktu yang tak bisa dihitung berapa kali ia menikmati kebersamaan dengannya. Dan kini semua itu sirna, hilang dibawa kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tidak pernah sedikitpun Haluna memikirkan bagaimana jika ia dipisahkan oleh Fahmi. Kalaupun ada, ia akan menepis pikiran itu jauh-jauh. Yang ia pikirkan hanya bagian yang bahagianya saja.
"Dahlah Luna pergi aja dari sini." Haluna menyerahkan Caca kedalam gendongan Sasa. Gadis itu beranjak dan menyampirkan tas nya dipundak. Hendak pergi dari Fasha yang bisa-bisanya membuatnya teringat kembali dengan seseorang. Seseorang yang hampir membuatnya terbiasa akan hilangnya ia dari muka bumi ini. Namun tanpa disebut namanya pun salah satu makhluk Tuhan yang satu itu kembali menggerogoti hatinya, membuat lubang celah kerinduan yang entah akan butuh waktu berapa lama untuk sembuh kembali. Walaupun hanya sementara, semoga tak akan lama.
Fasha mengerutkan keningnya bingung. "Mau kemana heh?!"
"Mau melepas rindunya Luna."
"Jangan cari mati."
"Siapa yang cari mati, orang cari balon."
Fasha dan Sasa saling pandang. Pasti tak mengerti maksud dari balon itu apa. Fasha ingin mengeluarkan pertanyaan kepada adik perempuan nya itu, tapi Caca kini beralih dalam gendongan Fasha. Menangis kencang entah apa yang ia pinta. Sasa pergi ke kamar mandi karena ada 'panggilan alam'.
Akhirnya, Fasha membiarkan Haluna pergi tanpa diberi tanya sepatah pun. Biar saja, nanti juga bertemu lagi. Sudah Fasha siapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyapa gadis itu.
•-----•
Entah percaya atau tidak, balon yang Haluna jadikan alat pelepas beban sampai saat ini masih ada. Setia pada posisi awalnya, tersangkut di pohon besar. Yaaa walaupun sudah tidak berbentuk balon lagi, warnanya yang semula putih kini sudah kekuningan. Biar dari jauhpun masih terlihat warna yang sudah pudar. Gulungan kertas yang mengikat ditali balon itu sudah tidak ada, mungkin hancur terkena air hujan.
"Akhirnya kita ketemu lagi ya balonnya Luna." mata Haluna perlahan memudar, pengeliatannya terhalang oleh cairan bening yang menumpuk dipelupuk mata. Hanya dengan sekali kedip, berhasil melewati pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALUNA (END)
Novela JuvenilMencintai bukanlah perihal waktu, Bosan tidak nya itu urusan ku. Karena di cerita ini kalian akan mengenalku dengan 'gadis yang tak kenal waktu' Maksudnya, bukan karena aku tidak mengetahui setiap jam nya ya! Jam tetaplah tolak ukur waktu. 1 jam te...