Bab 55

278 11 23
                                    

Waktu terus saja berputar dan aku belum menemukan kesempatan untuk memperpanjang hidup. Bukannya aku tak mau, aku sudah berusaha untuk menjadi laki-laki yang kau idamkan.

Tuhan selalu mempunyai cara lain, dan laki-laki itu bukan aku.

Tak apa, tak usah berkecil hati. Sebelumnya aku sudah merasakan sedih yang amat menyiksa. Jadi aku tau bagaimana nanti sedih yang kamu rasakan.

Maafkan aku Lun, waktu ku terlalu singkat untuk menjadi tempat menetap mu.



Padahal sudah beberapa bulan yang lalu, namun rasa sakit dan tak rela terus menetap di dirinya. Enggan untuk menghilang atau hanya sekedar berkurang. Lama nya waktu tak menjadikan dirinya kuat. Jika banyak orang yang bilang, "nanti lama-lama juga bisa menerima. Nanti lama-lama juga akan ikhlas." Tapi tetap saja ia belum mampu mengikuti perkataan yang mungkin terlihat mudah.

Hatinya belum mau, matanya belum juga membuka hal yang terjadi secara nyata. Ia terus berpikir bahwa kepergiannya hanyalah mimpi. Ia akan bangun dan menemui laki-laki itu tengah berjalan beriringan dengannya. Menuntun nya berjalan di trotoar jalan raya disore hari. Berbincang dengan hangat sampai terus menyambung ke topik yang lain. Lalu membawa nya ke kedai kopi dipinggir jalan yang terkesan sederhana. Duduk didekat jendela seraya menyeruput kopi yang dominan terasa pahit.

Namun angan-angan yang tak mungkin tercapai membuatnya kembali terperosok ketepi jalan yang curam. Ia harus bisa menerima. Harus, dan itu menjadi suatu hal yang mutlak.

"Udah tiga kali Luna baca ulang tulisan ini, tapi rasanya masih sama." Ia terkekeh miris pada dirinya sendiri.

"Luna masih belum mau menerima. Mungkin ini terlihat jahat, tapi bener bener terasa berat."

Gadis itu menghirup udara dipagi hari yang masih terasa sejuk. Matanya terpejam namun air mata tetap bisa lolos turun dan menyapa pipi nya. Dada nya masih terasa sesak.

Adakah orang seperti nya jika ditinggal selamanya dengan orang yang dicinta?

"Kan gue udah bilang jangan nyiksa diri lo dengan nangis setiap waktu. Lo harus bisa mencintai diri lo sendiri. Kalo Fahmi liat, pasti dia bakalan marah banget tau lo kayak gini." Ucap Nata yang membuatnya terdiam sejenak.

"Biarin aja. Luna sengaja malah, biar Ami bisa balik lagi." Katanya sendu.

Nata tersenyum, "ada yang mau ketemu sama lo noh."

Dahi Haluna berkerut. Seolah bertanya dengan bahasa isyarat. "Siapa?"

Nata mengangkat kedua bahunya. Lalu ia bangkit dan pergi begitu saja. Haluna sempat berteriak minta penjelasan, tapi ya sudahlah. Ia juga malas bertemu orang lain.

"Ternyata Luna ku yang dulu masih sama ya, cengeng."

Suara itu...

Buru-buru ia menoleh. Tepat disebelah sisi nya duduk. Laki-laki dengan kaos hitam polos menatapnya.

"Kok--bis--a?" Ucap Haluna terbata.

Laki-laki itu tertawa ringan. Lalu mengusap puncak kepala Haluna dengan sayang.

"Ini nyata? Atau Luna lagi mimpi?" Haluna bergumam.

"Entah ini nyata atau sekedar mimpi, yang jelas aku bahagia bisa menemui mu."

"Jadi ini cuma mimpi?" Tanya Haluna ragu.

Ia menggeleng, "aku untuk mu selalu nyata Lun."

Tanpa melewatkan waktu walau sedetikpun, Haluna langsung memeluk laki-laki ini. Aroma tubuh nya masih sama.

"Ini beneran terasa nyata." Katanya parau.

Laki-laki itu berdiri lalu menjulurkan tangannya bermaksud menuntun gadis nya untuk berjalan bersama. Ia membawa Haluna berjalan menyusuri jalan yang entah mengapa bisa setenang ini. Bunyi klakson kendaraan yang biasanya terdengar kini hanya berganti suara deru kendaraan yang menenangkan.

"Kita mau kemana Ami?" Tanya Haluna seraya sedikit mendongak untuk melihat wajah nya.

"Mengajak mu menghabiskan waktu." Ujarnya lembut.

Sungguh ini sangat mustahil!

Fahmi datang padanya? Jadi 'kejadian' buruk yang menimpa nya beberapa bulan lalu hanya mimpi?

Tulisan diawal bab ini menjadi nyata, seolah menjadi gambaran peristiwa yang akan dialami tokoh didalam cerita ini.

Wajahnya bersinar bagai bulan yang cahayanya tak terhalang awan. Menjadi satu-satunya cahaya yang paling menyala diantara langit yang gelap.

Ia kini sudah bangun. Terbangun dari mimpi buruk nya, dan mendapat kabar baik bahwa laki-laki ini masih bersamanya. Berjalan sambil menggenggam erat tangan nya yang lebih besar. Duduk berdua tanpa ada orang lain yang mengganggu momen ini. Jika kalian bisa melihat Haluna detik ini, kalian akan mendapati gadis yang semula murung kini kembali ceria. Pipi nya berwarna merah merona namun tidak mencolok. Rambut yang biasa terurai tak teratur kini menjadi lurus dan rapih. Seulas senyum yang tercetak sempurna dibibir tipis nya, membuat siapa saja ikut tersenyum melihat nya.

Indah seperti melihat kebun bunga berwarna warni menyegarkan mata saat memandang nya. Ingin ia jeda waktu yang selalu ia rindukan. Keindahan dan kebahagian yang dirasakan hari ini belum tentu terulang di hari esok.

Tidak-tidak!

Kejadian seperti itu jangan sampai terjadi lagi. Sudah cukup. Semesta, tolong rayu Tuhan untuk menyetujui keinginan nya.

Fahmi berulang kali mengecup kening Haluna dengan durasi yang cukup lama. Mereka duduk berhadapan dengan meja kayu bundar yang ukurannya tak menghalangi bibir Fahmi untuk menyentuh kening Haluna. Mereka berada dikedai kopi pinggir jalan seperti yang sudah tertulis diawal.  Tak ada siapapun disini selain mereka, dan pegawai kedai ini. Pantas saja Fahmi tanpa canggung terang-terangan menunjukkan rasa rindu nya.

Haluna menjauhkan kepalanya, melepas kecupan ringan dari Fahmi. Banyak tanya yang sudah tertahan dilidah nya. Kalau waktu nya ia habiskan hanya untuk dikecup keningnya itu kurang menyenangkan. Maksudnya, masih banyak hal yang harus ia lakukan dengan laki-laki yang namanya selalu ia sebut setiap hari. Bahkan detik.

Dua cangkir kopi berwarna sedikit kecoklatan tak menarik perhatian mereka. Dibanding benda cair itu, memandang satu sama lain jauh lebih menguntungkan. Rindunya kan jadi berkurang. Walau jika sudah berpisah akan kembali merindu. Ah!seharusnya mereka menikah saja ya, agar bisa terus bersama tiap waktu nya.

"Ami kemana aja selama ini?"

"Menunggu mu."

Kening Haluna berkerut dalam, menandakan tak mengerti ucapan Fahmi barusan.

"Aku sengaja pergi sebentar agar aku tau seberapa besar rasa sayang kamu ke aku."

Haluna tak habis pikir dengan jalan cerita ini. Hanya itu alasan dibalik tangis nya berbulan-bulan? Yang benar saja.

Dengan gerakan tergesa-gesa, Haluna mengeluarkan buku bersampul hitam dari dalam tas kecil nya. Menunjukkan benda itu dan meletakkan nya di meja, tepatnya di depan Fahmi. Tangan Haluna melipat di dada, seolah gadis yang merajuk pada kekasih nya. Fahmi hanya tersenyum simpul.

"Apa ini?" Pertanyaan bodoh yang entah bisa sejak kapan berada dipikiran Fahmi. Sudah jelas-jelas itu miliknya. Tulisan tangannya. Dan untuk Haluna.

"Ami jangan bercanda deh. Ini maksudnya apa? Kenapa Ami nulis semua ini seolah-olah Ami beneran pergi? Dan kejadian buruk itu? Ami yang sakit dan..." Haluna menggantung ucapannya. Tidak berniat untuk meneruskan. Biar saja, siapapun sudah tahu cerita diawal.

"Itu hanya mimpi buruk mu Lun."

HALUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang