Bab 32

204 9 0
                                    

Haluna menatap Fahmi lekat-lekat. Di pandang nya wajah yang setiap saat selalu di rindukan. Yang setiap hari nya membuat hati nya merasa hangat. Di tiap hari nya, ia jatuh cinta bersama orang yang sama. Tak pernah berubah walau waktu yang tak pernah bisa untuk berhenti namun cinta mereka tak pernah mau untuk lepas dari kedua nya.

Entah setan dari mana yang membuat Haluna menjadi orang yang egois. Terhitung hari ini. Egois, dia ingin sekali memiliki Fahmi selama nya. Tidak ingin melihat ia bersama yang lain. Itu terlalu menyakitkan. Pokok nya takdir tidak boleh berpihak pada yang lain. Semesta harus membiarkan Fahmi menjadi milik mutlak nya.

"Jangan di liatin, aku tau aku itu manis." kata Fahmi seraya mengusap lembut pipi Haluna yang kini sudah memerah.

"Apaan si." Haluna memalingkan wajah menghindari tatapan Fahmi yang kini tengah meledek nya.

"Masih suka?"

"Suka apa?"

"Suka liatin aku secara terang-terangan."

"Klo gelap gak keliatan dong, heheh." kekeh Haluna.

"Sekarang udh pinter."

"Pinter apa?"

Fahmi memajukan wajah nya untuk lebih dekat ke telinga Haluna, lalu berbisik,"pinter balikin omongan orang."

"Ami juga pinter."

"Pinter kenapa?"

"Pinter bikin orang jadi suka." ucap Haluna dengan nada yang sangat pelan sampai Fahmi berkata,"hah?"

"Gak jadi, untung conge." gumam Haluna.

"Yang itu aku denger."

Mereka tertawa ringan. Di sini. Di tempat yang pernah mereka duduki. Mereka berada dalam bis yang waktu itu pernah mereka tumpangi. Beruntung nya mereka, bisa duduk di tempat yang sama persis dengan yang waktu itu pernah mereka tempati. (kalau lupa baca bab 4)

Suasana nya sama persis. Tidak terlalu ramai namun tidak terlalu sepi. Si supir dan kondektur nya pun masih sama. Haluna masih ingat betul bentuk wajah mereka.

"Ngeliatin apa?" tanya Fahmi. Haluna menggeleng.

Haluna menoleh ke arah Fahmi yang sedang asik menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong. Tatapan itu--masih sama. Masih sama waktu pertama kali ia menaiki bis ini.

Haluna tersenyum hangat namun Fahmi tak mengetahui nya karena ia masih berkutik dengan pikiran yang hanya dia yang tau apa isi nya.

Dengan gerakan lambat Haluna menaruh kepala nya untuk bersender di bahu Fahmi. Fahmi yang sadar dengan pergerakan Haluna, ia menggeser posisi senyaman mungkin agar kepala Haluna tidak sakit. Kedua nya memejamkan mata. Bukan untuk tidur tapi hanya menikmati waktu bersama. Bunyi bising kendaraan masih terdengar jelas di indra pendengaran mereka.

Tidak tau sudah berapa lama mereka menikmati waktu bersama. Sampai kondektur menyadarkan mereka.

"Mba, mas mau turun di mana? Ini udh sampe di terminal." ucap sang kondektur.

Lebih dulu Haluna tersadar,"iya pak, terimakasih. Kami dikit lagi turun."

Kondektur itu mengangguk lalu pergi ke luar bis.

Haluna menepuk-nepuk pipi Fahmi. Rupa nya orang ini tertidur.

"Ami bangunnn!!"

Fahmi terbangun,"udh di mana?"

"Terminal."

"Yah kelewat dong?" ucap Fahmi panik. Haluna terkekeh.

Mereka menertawai diri masing-masing. Bodoh nya mereka menaiki kendaraan umum tapi malah kelewatan. Alhasil mereka harus putar balik menaiki bis lagi untuk menuju rumah Haluna.

***

"Ngapain kamu datang ke sini?"

"Nganterin Haluna pulang om."

Putra mengedarkan pandangan ke teras rumah nya, ia mencari kendaraan yang di pakai untuk mengantarkan anak perempuan nya. Fahmi yang peka dengan gerak-gerik Putra akhirnya menjelaskan.

"Tadi kami naik bis om. Soalnya motor Fahmi di sita Papa."

"Apa Papa kamu tau klo kamu nganterin anak saya pulang?"

"Nggak om." Fahmi menggeleng ragu.

Putra memalingkan wajah sebentar. Ia mengusap wajah gusar,"begini ya Fahmi. Saya melarang anak saya, Haluna untuk berhubungan lagi dengan kamu. Ini demi kebaikan nya, kebaikan kamu dan kita semua. Kamu sudah tau itu tapi masih saja mendekati anak saya. Apa tidak ada perempuan yang mau dengan mu?"

"Pahh jangan ngomong gitu." pinta Haluna dengan cemas.

"Ini harus di bahas Lun, buat kebaikan kamu juga."

"Saya minta maaf Om klo kehadiran saya membuat keluarga Om jadi memburuk. Saya minta maaf atas perlakuan Papa saya yang di luar batas wajar. Dan saya sangat meminta maaf karena sudah terlanjur jatuh hati dengan anak perempuan Om. Saya akan menjaga nya sebisa saya, saya mencintai nya. Saya blm mau mundur. Saya rasa Om akan tau jatuh cinta seperti apa yang saya rasakan. Gitu aja Om, maaf sudah mengganggu ketenangan keluarga Om. Saya pamit pulang. Assalamualaikum." Fahmi mencium punggung tangan Putra dengan sopan lalu permisi untuk pulang. Sebelum itu ia tersenyum pada Haluna. Haluna membalas nya.

"Waalaikumsalam." jawab Putra dan Haluna berbarengan.

HALUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang