Bab 28

225 14 0
                                    

Haluna POV

Aku masih menunggu nya,
Di sini. Di tempat yang aku benci. Terhitung sejak ia terbaring di ruangan yang beraroma obat di setiap sisi nya.

Aku masih menunggu nya, untuk membuka mata dan melihat bagaimana hancur nya aku saat ia tak bisa melakukan apa-apa kecuali tidur.

Aku masih menunggu nya. Masih menunggu dan menangung rindu semua yang ada pada dirinya.

Kini, sudah beberapa hari tak ku dengar kata demi kata yang ia ucapkan pada ku. Bahkan untuk berkata 'hai' saja ia tak bisa.

Dulu aku sangat benci kesunyian. Aku benci DIAM! Sampai akhirnya aku harus bersama orang yang diam tak bisa apa-apa. Tak bisa berkata untuk sementara.

Aku masih menunggu nya.

Si 'dia'

Cinta pertama ku.

"Kamu pulang aja dulu Lun. Nenek tau kamu juga butuh istirahat yang cukup, kamu butuh nenangin diri."

"Nggak nek, Luna di sini aja. Jagain Ami. Takut Ami nya bangun tapi gak ada Luna, nanti Ami marah. Ngambek. Kan klo ngambek baikin nya susah."

"Kamu harus pulang dulu Luna. Istirahat dulu, biar gak sakit. Nanti klo Luna juga sakit, yang jagain Fahmi siapa? Kan penyemangat Fahmi itu kamu. Semisal Fahmi bangun, nenek langsung kabarin kamu." Nek Dian tersenyum hangat pada ku, aku pun membalas nya.

"Nenek udh suruh abang mu untuk menjemput." Aku mengangguk mengiyakan.

Ku tatap wajah nya yang pucat itu. Mengucapkan segala kalimat kerinduan yang sudah tak bisa ku ungkapkan lagi.

Tanpa sadar, cairan bening yang sejak tadi ku tahan akhirnya minta sekali untuk di jatuhkan. Aku menangis dalam diam. Dalam hati ku berkata  'apa dia juga merasakan kerinduan yang tak berujung?'

Aku segera menghapus jejak air mata dengan punggung tangan ku. Tidak ingin membuat Fahmi dan Nek Dian ikutan bersedih.

Aku mendengar suara ketukan pintu yang tidak pantas di suarakan di rumah sakit. Terlalu keras.

Tubuh ku mendadak kaku saat ku dengar suara bariton yang sudah ku hafal secara tidak sengaja. Aku pun tak mau terus terngiang suara orang itu. Terlalu---menakutkan.

"Untuk apa kau ke sini?" tanya Nek Dian.

"Apa ibu lupa? Fahmi kan anak ku."

"Anak apa nya? Anak yang kau tak pedulikan dan hampir kau bunuh itu?!"

Brukkk!

Suara benda jatuh terdengar jelas oleh telinga ku. Tidak tau benda apa itu. Aku masih setia pada posisi ku. Menghadap Fahmi seraya menggenggam tangan nya erat. Bohong jika aku sedang tidak ketakutan. Rasanya aku ingin lari tapi aku tak bisa. Kaki ku mendadak seperti lumpuh. Sulit di gerakan.

"AKU TAK AKAN MELAKUKAN HAL INI JIKA HALUNA TIDAK MENGANGGUNG FAHMI, IBU! DIA ITU SUDAH MENGHANCURKAN KELUARGA KITA, DIA SUDAH MEREBUT KEBAHAGIAN FAHMI. DIA TAK PANTAS BERSAMA PUTRA KU! DIA NAMPAK SEPERTI---WANITA PENGGODA! TIDAK TAU DIRI DAN TIDAK TAU MALU!" suara om Danu begitu melengking. Kalian tau apa yang saat itu aku rasakan? Aku---hancur.

Air mata itu.. Kembali turun. Sengaja tak ku hapus lagi, biar saja Fahmi lihat. Siapa tau ia akan bangun dan melindungi wanita nya .

10 menit berlalu namun tak ada tanda-tanda Fahmi akan bangun. Yang ada hanya caci maki yang ku dengar dari mulut om Danu yang begitu menohok.

Seseorang mencekal pergelangan tangan ku , dengan sekali hentakan ia berhasil menarik ku untuk berdiri dan membalikan tubuh ku agar mengahadap ke arah yang tidak ingin aku pandang sama sekali.

Aku menatap sorot mata om Danu yang bengis itu. Aku takut. Tapi ada hal yang membuat ku kaget. Orang yang menyuruh ku berdiri dengan paksa itu adalah Irwan. Tidak tau sejak kapan ia datang. Aku malas jika harus memikirkan hal yang merepotkan.

"Permisi om, Haluna biar saya yang bawa ke luar." ujar Irwan.

Baru saja Om Danu ingin berbicara, Irwan langsung menarik ku ke luar ruangan. Tidak tinggal diam, Om Danu justru kembali berkata pedas. Kali ini ia berteriak mungkin agar aku masih bisa mendengar sumpah serapah nya atau menyalurkan amarah nya.

"DASAR JALANG! MAU SAJA DI BAWA OLEH LAKI LAKI LAIN. LIHAT KAN IBU, HALUNA TIDAK PANTAS DENGAN ANAK KU! DIA ITU WANITA PENGGODA!"

"TIDAK AKAN KU MAAFKAN HALUNA BESERTA KELUARGA MUNAFIK NYA!"

"LIHAT SAJA PEMBALASAN KU!!!"


***


"Bang Aca pernah gak si ngerasain kisah cinta yang bener-bener rumit? Ampe mau melangkah aja bingung. Mau maju atau mundur semua banyak resiko." tanya Haluna seraya menatap Fasha sendu.

Mendengar pertanyaan sang adik, Fasha pun sudah tau Haluna berada di ambang kebingungan. Jika ia melangkah maju dengan Fahmi sudah pasti masalah menanti keduanya. Namun jika mundur ia tak bisa bersama Fahmi lagi. Dan itu tanda nya ia akan kehilangan Fahmi, Fahmi cinta pertama nya.

Fasha mengelus rambut hitam sebahu Haluna yang ia gerai walau sedikit kusut. Separah itu masalah yang ia hadapi sampai Haluna tidak lagi mengurus diri nya,"jujur abang gak pernah ngerasain apa yang Luna rasain. Tapi abang tau Luna pasti bisa nentuin pilihan yang terbaik. Karena Luna yang jalanin jadi Luna juga yang harus memutuskan baik nya gimana. Abang tau mau gimana pun , Luna pasti kuat."

"Tapi Luna gak yakin bang sama keputusan yang masih abu-abu."

"Abang tau Luna pasti tau mana yang terbaik." senyum Fasha.

Haluna memeluk Fasha dengan erat. Menumpahkan segala beban yang ada di pundak nya. Tapi ternyata nihil. Hanya ketenangan lah yang ia dapatkan, bukan penyelesaian masalah.

Haluna tau , sebanyak apapun ia meminta pendapat ke orang sekitar pasti jawaban nya itu-itu saja. Semua keputusan ada di diri nya sendiri. Argh! Apa tidak bisa kah seseorang membantu diri nya? Menghilangkan masalah buruk ini tanpa ada yang harus di korban kan? Tanpa ada kata kehilangan?

Kring.. Kringgg..

Bunyi deringan handphone Fasha terdengar nyaring. Kebiasaan Fasha menaikan volume panggilan sampai full. Ini ia lakukan agar tidak sering di marahi oleh Sasa-pacar nya karena pernah tidak mengangkat telpon dengan alasan hp nya di silent.

"Assalamualaikum pah." salam Fasha.

"&%$+#+#+#("

"Oh jadi papa sama mama besok mau pulang?"

"&#%-#*+#+$%"

"Oke deh. Tapi jangan lupa ya oleh-oleh yang banyak buat Fasha."

"Buat Luna juga." sergah Haluna. Fasha mengangguk.

"&#%#-$(#(*?#-#-*"

"Iya pah, kita di sini baik kok. Mama sama papa hatihati ya di jalan nya."

Setelah mengucapkan salam, panggilan terputus. Haluna menatap Fasha penuh pertanyaan,"kenapa bang? Mama sama papa mau pulang?"

"Iya Lun. Besok mereka berangkat pagi pagi dari sana."

Sedetik kemudian pandangan Haluna mendadak kosong. Ada sesuatu yang tiba-tiba menganggu pikiran nya.

"Kenapa?kok bengong?"

Lamunan Haluna buyar,"Luna takut klo mama sama papa pulang terus tau keadaan Ami yang masih koma. Terlebih itu salah Luna, pasti om Danu bakalan marah ke papa. Luna harus gimana bang?hiks--hiks." ia kembali menangis.

"Luna tenang aja,semua bakalan berjalan dengan baik-baik. Kita punya Tuhan dan pasti Allah akan menolong."

HALUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang