[1]

21.5K 1.2K 23
                                    

Dalam dunia mereka, manusia hanyalah makhluk paling lemah. Jumlah mereka memang tidak sebanyak manusia, namun kekuatan mereka bisa menghabisi setiap orang yang tengah berjalan memadati kota Seoul.

Dia bisa bilang begitu karena notabene pemegang kota ini, walaupun minoritas, adalah kaumnya—dia punya angka, yang mana membuat mereka memiliki kekuatan yang cukup besar di Seoul.

Mobil warna warni melewatinya, turut memadati jalan dan membuat telinganya dipenuhi deruan mesin. Kelap kelip kota atas lampu dari gedung maupun layar besar berisikan iklan, menempatkan perempuan paruh baya yang tengah memamerkan kecantikannya disana.

Itulah pemandangan yang bisa dia lihat selama tiga ratus tahun hidupnya. Hanya dengan langit malam dia bersahabat. Hanya dengan dipayungi kegelapan dia bisa hidup dengan tenang.

Dia melangkah mendekat menuju kerumunan di salah satu kedai kopi dengan kedua tangannya melesak disaku. Berjalan dengan dagu terangkat, menerima setiap sorot mata yang mengaguminya. Hal yang tidak pernah hilang sejak tiga ratus tahun hidupnya.

Mendengar bisikan berisik ditelinganya, memuji kulit pucatnya. Bukan hal yang baru baginya. Namun, meski begitu dia tetap tidak bisa dengan bebas menyatakan siapa dirinya sebenarnya.

Mereka tentu hanya menyenangi penampilannya, bukan berarti akan menerima makhluk apa dia sebenarnya.

Itulah yang membuat antar makhluknya kini sedang dalam krisis, selama hidup damai seja seratus lima puluh tahun berladaskam satu surat sakral yang mereka amini bersama.

"Jaehyun"

Didepannya, si pemilik kedai kopi melambaikan tangan kearahnya. Dia membalas, dengan senyuman, membuat siapapun yang tengah memandangnya ikut menggila.

"Maaf aku terlambat"

"Tidak apa-apa, shiftnya baru berganti. Kamu tepat waktu. Cepat ganti pakaianmu" pinta Sicheng. Lelaki kurus itu melemparkan kearahnya apron coklat, dengan nama restoran di dada bagian atas sebelah kirinya.

"Oh ya, aku sepertinya harus pulang lebih dulu" bisik Jaehyun, seraya mengikat tali apron dipunggungnya, "Ada pertemuan"

"Jam berapa? Nanti akan kugantikan"

"Jam 10" Jaehyun menggulung lengan bajunya keatas, kemudian menilik ke jam tangannya dari brand ternama, edisi terbatas, hanya lima di dunia, yang turut membuat Sicheng terbelalak melihatnya.

"Baru?" tanyanya, menujukan pertanyaan itu kepada si jam yang melingkar indah dipergelangan tangan lelaki itu.

"Iya"

"Bisa-bisanya barista sepertimu punya barang semahal itu" decak lelaki bertubuh kurus dihadapannya.

"Kalau kamu nabung sejak tiga ratus tahun yang lalu, Seoul pun bisa berada ditelapak tanganmu"

Lelaki berambut coklat muda itu tertawa, "Untungnya kamu belum mengakusisi Seoul"

Jaehyun turut terkekeh, "Benar, kalau Seoul punyaku pasti kerjaanku sangat berat. Lebih asik menghancurkan biji kopi disini"

"Masih ada tiga jam lagi. Sana" Sicheng menepuk bahu Jaehyun, memintanya untuk kembali ke belakang meja bar melihat para pembeli mulai memadati tokonya.

Satu, karena rasa kopinya yang dinilai paling enak.

Kedua, Jaehyun. Tentu saja, mereka datang kesini karena ingin memandangi Jaehyun sampai puas.

Kafenya hanyalah bangunan sedang dengan arsitektur luar penuh kayu-kayuan, kemudian jika melirik ke interior dalamnya, maka cahaya kuning akan menyapa dan mengisi ruangan. Meja-meja bundar dengan motif serat kayu, kursi-kursi kayu yang dia alaskan dengan bantal untuk membuat tamunya nyaman berlama-lama di kedai kopinya. Membawa kesan era 90'-an—walau versi modern, menurut Jaehyun yang sudah melewati tiga abad terakhir—dengan memajang banyak lukisan kuno, barang-barang yang dia rasa cukup antik untuk dipamerkan.

WILLOW || JAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang