[20]

2K 262 23
                                    

Dia bangun dengan perasaan lapar.

Kakinya keluar dari kamar tamu dan segera menuju dapur.

Masih pukul enam pagi. Dia tidak bisa tidur semalam, menyadari bahwa dia berada dalam satu atap bersama seorang manusia.

Oh, jangan kira itu mudah ketika dia menyusuri leher Taeyong tanpa mengeluarkan taringnya—bisa bayangkan bagaimana rasa darah dibalik kulitnya yang tipis, lembut, empuk, jangan lupakan aroma parfum yang menempel disana, dia tidak ingin membayangkannya lebih jauh atau mungkin yang ada dia akan benar-benar menerkam Taeyong.

Jaehyun mengernyit ketika dia mendengar suara yang berasal dari dapurnya. Matanya menyorot kearah punggung terlapisi hoodie kuning yang tudungnya dikenakan untuk menutup surai gelap dibaliknya.

"Oh! Jaehyun"

Taeyong menyadari kehadirannya

"Ngapain— pagi-pagi?"

"Bela negara?" lelaki itu memutar matanya, dengan tangannya menopang piring, "Kubuatkan sarapan untukmu"

O-oh?

Alisnya naik sebelah karena menyaksikan sisi Taeyong yang tidak pernah dia kira akan dia lihat.

Jaehyun bukan tipe orang yang sarapan, sebenarnya. Dia hanya minum kopi dipagi hari dan makan di siang hari.

Tapi, dia juga tidak menolak ketika Taeyong menyodorkan sarapan di piringnya.

Jaehyun menarik kursi meja makannya, duduk disana, berhadapan dengan Taeyong yang tengah duduk diseberangnya.

"Bisakah setelah ini kita berangkat?"

Jaehyun mengernyit, "Sepagi ini?"

"Iya. Aku harus pulang ganti baju dulu"

"Kamu bisa pakai bajuku"

Taeyong terkekeh, "Yang ada aku tenggelam, bajumu pasti kebesaran di aku" ucapnya, seraya meraih minuman disampingnya agar dia tidak tersedak.

Jaehyun ikut terkekeh, "Ok. Aku siap-siap dulu"

Taeyong mengangguk, "Oh ya, lalu? Apa yang kamu lakukan?"

"Um" Oh .. ya. Jaehyun mengaku sebagai barista dan rumah ini bukanlah ukuran rumah dengan pendapatan 'barista', "Tidak ada.."

"Kamu jadi barista sudah berapa lama?" gumam Taeyong, "Sepertinya pendapatanmu jadi barista lebih banyak dari pendapatanku" dengan matanya yang menatap keatap dapur, berkeliling keseluruh ruangan. Memerhatikan tiap jengkal ruang dapur Jaehyun yang bahkan lebih luas dari rumahnya sendiri.

"Ah, ini peninggalan orang tuaku" balas Jaehyun cepat, "Ayahku dulu .. kerja—"

"Hm, rumahku juga peninggalan orang tuaku. Andai saja mereka pergi dengan memberikanku rumah yang lebih bagus dan tanpa hutang" Taeyong terkekeh pahit, "Pasti menyenangkan"

Keingintahuan Jaehyun tumbuh dalam dirinya. Mengapa Taeyong terlihat begitu sedih serta sakit ketika membicarakannya? Apakah topik ini begitu sensitif?

Hutang? Orang tuanya meninggalkan hutang?

"Hutang?"

Hutang apa?

"Hm, yang saat itu menyerangku palingan mereka yang suka nagih hutang"

"Mereka sering menyerangmu?"

"Hm. Setiap akhir bulan aku pasti akan didatangi rentenir. Hutangku udah lunas nih, tetep aja ada bunga lagi bunga lagi" omel Taeyong ditengah kunyahannya, "Tunggu— kenapa aku memberitahu kamu—?"

WILLOW || JAEYONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang