"Turun." ujar Gladis saat mereka tiba di halaman rumah.
"Kamu mau kemana Dis?" tanya Asih yang bingung dengan penuturan Gladis.
"Sstttt, diem aja di rumah, kalo nanti lo mau keluar, pake taxi aja, motor lo, gue sewa." Gladis memberikan beberapa lembar uang pada Asih.
"Sekalian tas gue." Gladis melepas tasnya dan mengeluarkan ponselnya yang berdering.
"Iye iye bentaran napa, gue otw." ucap Gladis menempelkan ponselnya di sela helm nya.
"Dis jangan pergi terlalu jauh ya, kamu kan baru bisa naik motor." pesan Asih saat melihat Gladis mengusaikan panggilan.
"Gue cuma baru belajar tombol-tombolnya doang, belajar motor udah kaya sesusah belajar helikopter. Udah tenang aja, dah." Gladis kemudian berlalu dengan motornya.
"Lah Gladis mau kemana?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Tingg ting tririririing tring ting ting ting
"Asih, Bang Leon udah balik?" teriak Gladis yang baru saja pulang.
Penampilannya agak berbeda dengan saat ia pergi tadi, sebuah jaket putih melapisi baju seragamnya.
Karena tidak mendapat jawaban, Gladis memutuskan untuk segera ke lantai dua.
"Bang...." panggilnya menuju ruang keluarga.
Di dekat beranda duduk seorang laki-laki di depan sebuah grand piano.
Gladis membelalak, ia menundukkan badannya untuk bersembunyi di balik sofa ruang keluarga.
"Itu siapa anjir?" desis Gladis berusaha mengintip laki-laki dengan punggung luas yang sedang meliatkan jemarinya di atas deretan tuts.
Dengan menahan langkahnya agar tidak menghasilkan derap, Gladis meraih bantal sofa dan mengendap ke arah laki-laki yang jelas-jelas bukan Leon, kakaknya.
Bugggghh
Bantal itu tepat mengenai telapak tangan laki-laki yang dengan cekatannya menoleh.
"Bego lo." ucapnya menunjuk ke kaca beranda yang memantulkan bayangan Gladis dan dirinya.
"Lo!!! Ngapain lo di rumah gue?!" cerca Gladis.
"Sekarang gue anggota penghuni rumah ini juga." jawab Karel kembali menekan jarinya di deretan tuts.
"Keluar gak lo?!!" Gladis kembali memukuli Karel yang sekarang berusaha menamengi kepalanya dengan kedua lengannya.
"Gue yang suruh Karel tinggal di sini."
Gladis menoleh ke asal suara.
"Mati aja lo, Leon!" Gladis melempar bantal sofa yang dipegangnya pada sang kakak.
"Love you too, Dis." kekeh Leon.
⭐⭐⭐
"Hhhhuhhfft, bisa gila gue lama-lama punya abang macem lo,"
"Gue adik cewek lo bang, dan lo masukin anak cowok ke rumah yang gak ada orang tuanya. Kalo ada apa-apa gimana? Kalo orang mikir yang nggak-nggak gimana?" omel Gladis berjalan menuju sofa.
"Maksud lo 'nggak-nggak' apaan? Emang gue mau ngapain?" sahut Karel yang masih duduk di kursi piano.
"Kemaren lusa, di apartment Karel ada kebakaran. Jadi perusahaan real-estate nya lagi ngerenovasi besar-besaran."
"Karel bakal tinggal di sini sampe apartment nya bisa ditempatin lagi." jelaskan Leon duduk di sebelah Gladis.
"Emang lo bapaknya? Kenapa gak suruh balik ke rumahnya aja? Lo bukan orang tuanya-"
"Dis!!!" seru Leon.
"Rese lu, pokoknya kalo ada apa-apa lo yang tanggung jawab." jawab Gladis melepas jaketnya.
"Lo dari mana?" tanya Leon masih memperhatikan Gladis.
"Bisa perhatian juga lo sama adik sendiri?" sindir Gladis.
"Gue nanya bener-bener, lo dari mana baru balik jam segini?" Leon yang juga baru pulang dari rumah sakit memperhatikan Gladis yang masih berseragam dan bersepatu.
"Jas sekolah lo mana?" tanya Leon lagi sambil merampas jaket yang Gladis kenakan tadi.
"Ada." jawab Gladis hendak mengambil kembali jaket yang Leon rebut.
"Jaket siapa? Ini parfum cowok!" Leon membawa jaket yang usai diendusnya ke balik badannya.
"Bukan urusan lo, urusin aja kerjaan lo." Gladis menghentakkan kakinya beranjak dari sana.
"Dis." panggil Leon.
"Gladis!!" Leon mengejar Gladis.
"Kak." panggil Karel bangkit dari kursi piano.
Leon menoleh, dan menunggu sampai Karel berdiri di depannya.
"Tadi Gladis pergi pake motor." ucap Karel.
"Motor? Gladis belum pernah naik motor sebelumnya." kata Leon mengerutkan keningnya.
Karel mengangguk, "Gladis juga minta Asih jemput dia ke sekolah tadi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gladis melempar sepatunya ke sembarang arah dan berjalan ke dapur hanya beralaskan kaus kaki."Itu maksudnya apaan? Lo juga tau tuh orang bakal tinggal di sini?" ucap Gladis dengan cepat secepat jalannya menuju meja bar.
Asih yang menunduk di pintu dapur sudah siap menerima omelan dari Gladis.
"Kenapa gak bilang gue? Si Leon ngancem lo apaan?" lanjut Gladis mulai melahap makan malamnya yang sudah Asih siapkan.
"Gak usah didengerin mbak, cewek puber kalo lagi laper emang kaya singa."
Gladis yang sedang lahap segera menoleh.
"Maksud lo apaan ngomong gitu?" sahut Gladis tak terima.
"Makan aja dulu, biar gak marah-marah mulu, capek dengernya tau gak?" ucap Karel bergabung dengan Gladis di meja bar.
"Mulut lo belum pernah dicolok pisau ya?" tukas Gladis melempar sendok yang ia pegang pada Karel.
"Ini mah gue yang bakal 'kenapa-napa' tinggal di sini." ucap Karel yang berhasil menghindar.
"Yaudah pulang sono ke emak bapak lo, lo pikir rumah gue tempat pengungsian, apa?" Gladis melanjutkan makannya dengan mengambil sendok baru.
"Ngamuk-ngamuk, makan, ngamuk, makan lagi, ngamuk lagi...." cibir Karel setelah ia terdiam sejenak.
⭐⭐⭐
Kemaren aku gak up sama sekali, gegara bantuin adek kelas bikin tugas cerpen🤣🤣
Jadi hari ini kayanya aku bakal up beberapa part🤟11:48 AM
01/02/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Siang dari Pluto [END] ✅
Teen FictionComplete dalam 24 hari ^.^ "Gue capek jadi anak baik." ucap Gladis duduk di motor yang terparkir di arena balap. "Lo anak cewek, abang lo bakal marah liat lo disini." Venus, sang empunya motor berkacak pinggang menatap Gladis. "Emang kenapa...