"Kenapa lagi, hmm?" tanya Bian saat mereka tiba di penthouse Rose.
Gladis hanya menghela nafas, dan ia menelungkupkan badannya di kasur Rose.
"Aaaaaa tayangnya Rose, kenapa sih? Kan tujuan lo ke sini buat seneng-seneng, Dis." ucap Rose turut duduk di kasur bersama Bian.
"Katanya lo ke sini biar gak diatur-atur lagi sama nyokap-bokap lo." sahut Bian.
"Tapi abang gue sekarang ikutan sok ngatur ini itu, dan gak ada yang berubah sedikitpun, abang gue juga sama gila kerjanya kaya orang tua gue." Gladis duduk dan memeluk boneka pink milik Rose.
"Euhmmm, Gladis, jangan sedih-sedih gini dong, kan masih ada Bian sama gue di sini, kita selalu ada buat lo." Gladis tenggelam dalam pelukan tubuh lebar Rose.
"Gue gak sedih, ngapain sedih, gue cuma kecewa aja, kenapa gue selalu gini, dimanapu kapanpun, gue dinomorsekiankan setelah pekerjaan." jawab Gladis membela diri.
"Lo cuma terlalu santai dan cuek sama kehidupan lo Dis, sebenernya banyak orang yang peduli sama lo, tapi lo terus-terusan fokus sama perhatian keluarga lo." ucap Bian.
"Inget gak awal kali kita ketemu, lo ngelakuin hal gila yang juga gara-gara hal yang sama, Dis, perhatian keluarga lo." lanjut Bian.
⭐⭐⭐
2 tahun lalu...Gladis yang berusia 15 tahun dengan frustasi keluar dari pintu apartment nya.
Rengutan wajahnya membuatnya terlihat sangat muram untuk anak seusianya.
Saat anak-anak lain tersenyum bahagia pergi bersama orang tua nya, Gladis hanya duduk diam di kursi penumpang mobil mewah yang disupiri orang lain.
Ketika anak-anak lain berbangga pergi bersama kakak/adik nya, Gladis hanya duduk sendiri di beranda apartment duplex yang berkelas.
Ketika anak-anak lain tertawa riang keluar-masuk tempat perbelanjaan bersama teman-temannya, Gladis hanya makan sendiri di restaurant bintang lima.
Sekali-kali ia ingin mendapat teguran dari orang tuanya, tapi semua yang sudah ia lakukan selama ini seolah masih dianggap wajar oleh orang tuanya.
Ia ingin melakukan lebih.
Dengan pengharapan terbesar bahwa orang tuanya akan memarahinya.
Ia tengah berjalan lesu tak tentu arah, dan ia duduk di sebuah halte bus yang terlihat sepi.
Beberapa gadis berseragam sekolah baru saja turun dari bus yang berhenti di depan halte.
Gladis melihat berbagai ekspresi mereka, tertawa puas, tersenyum, merasa tertindas, merasa puas memiliki teman baik, semuanya membuat Gladis ingin menyobek senyum mereka.
Ini tidak adil bagi Gladis.
Mereka boleh bahagia, kenapa ia tidak.
"Arrrkh." seorang gadis memekik saat ia terjerembab dengan rambut berantakan.
Anak-anak lainnya tertawa.
"Anak tukang cilok aja bangga lo, ngedeketin cowok nomor satu di sekolah." ucapnya dengan tawa kejam.
"Aaaw!!" gadis yang terpaksa memenggal tawa jahatnya itu jatuh terdorong ke arah teman-temannya.
"Lo gapapa kan?" tanya Gladis membantu anak tadi berdiri.
"Aarkh." rintih anak itu memegangi lututnya yang berdarah.
"Lo nyari masalah sama gue?!! Lo tau gak gue siapa?!" bentak anak itu.
"Lo gak punya hak ngehina pekerjaan keluarga dia, yang penting mereka bisa ngasih kasih sayang sama anaknya,"
"Gak kaya orang tua lo yang gila kerja, gila harta, sampe lupa ngedidik anaknya yang sekarang jadi monster kaya lo!" cerca Gladis.
Plaaak
Pipi mulus Gladis terasa berdengut-denyut, namun seringainya tetap tercetak jelas di wajahnya.
"Kenapa? Omongan gue bener? Huh???" ejek Gladis.
Sekali lagi sebuah tamparan melayang ke pipi kirinya.
Namun belum sampai, sebuah tangan lebih dulu menahannya.
"Bianca, lo apa-apaan sih?!!" ucap anak itu.
Cewek tomboy dengan rambut sebahu itu menarik Gladis, dan Gladis menyempatkan diri menarik anak yang tadi sempat dirundung.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Lo gapapa?" tanya Gladis saat mereka bertiga sama-sama berada di apartment Gladis.
"Gapapa kok, btw nama gue Rose, thank you ya udah nolongin gue." ucap yang tadi dirundung.
"Gue Gladis,"
"Thank you juga tadi lo udah nahan tangan anak itu." lanjut Gladis pada Bianca.
"Gue Bianca, panggil aja Bian." ucapnya.
"Gue tau orang tua lo punya banyak bisnis rumah makan, kenapa lo diem aja ditindas kaya tadi?" tanya Bian pada Rose, yang sejatinya satu sekolah.
"Orang tua Fani itu pernah jadi anak perusahaan keluarga gue, gue gak mau bikin dia malu di depan temen-temennya."
"Lo terlalu baik, Rose!" sangkal Bian.
"GLADIS!!!"
"Ssttttt, kalian jangan kemana-mana, tetep di kamar gue." tutur Gladis segera keluar dari kamarnya.
"Apa-apaan kamu!! Kenapa apartment yang papa kasih sebagai hadian ulang tahun kamu jual demi apartment kecil gini?!"
"Jadi?" potong Gladis.
"Mama ke sini buat ngekhawatirin aku atau apartment?"
"Apa aku harus jual semuanya biar kalian bisa sedikit aja ngeliat anak kalian ini?!!"
"Inget omongan anak itu ke Fani tadi gak?" bisik Rose, yang sama-sama menguping di balik pintu.
"Tentang orang tua yang cuma peduli kerjaan, dan harta sampe lupa ngedidik anaknya." sahut Bian balik berbisik.
⭐⭐⭐
Yeheee triple up🧡
10:06 AM
09/02/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Siang dari Pluto [END] ✅
Teen FictionComplete dalam 24 hari ^.^ "Gue capek jadi anak baik." ucap Gladis duduk di motor yang terparkir di arena balap. "Lo anak cewek, abang lo bakal marah liat lo disini." Venus, sang empunya motor berkacak pinggang menatap Gladis. "Emang kenapa...