Berhasil menyelesaikan rendengan mata kuliah yang memusingkan ditengah badai emosi bergejolak saja sudah sangat alhamdulillah bagi Nia. Ia kehilangan seluruh nafsu-mau nafsu makan, nafsu belajar, nafsu untuk menjawab omongan orang lain, apapun itu. Semua diakibatkan oleh ulah oknum tidak bertanggung jawab yang telah menyebarkan berita tidak penting namun mampu menghipnotis semua otak dikelas ini.
Nia berani bersumpah, semua bulu lehernya akan meremang bak singa kelaparan setiap kali melihat Jeffian si banci menyebalkan itu.
Sayangnya niat untuk langsung pulang terpaksa gagal karena langkah Nia terhalang oleh tubuh tinggi seseorang yang sangat tidak ingin dilihatnya. Dengan malas ia memalingkan wajah, sambil menyilang tangan didepan dada. Jelas-jelas tak ingin menimpali manusia aneh pengusik ketentraman itu.
"kan elo yang ngusik gue duluan, kok lo marah banget gitu sih sekarang?"
Ya gila-Nia menelan paksa saliva setelah mendengar suara berat cowok itu yang entah bagaimana bisa tepat sekali dengan apa yang tengah terlintas dipikirannya. Ia terkesiap, memorinya menerawang pada beberapa hari sebelumnya. Dimana dirinyalah yang membuat keributan pertama kali di warung kecil pinggir jalan.
Sambil berdeham, ia mengurai dekapan tangannya. Lalu memfokuskan netra menatap laki-laki yang masih berdiri anteng dihadapannya. Jeffian menatapnya lurus, tapi dari ekspresinya tidak segarang banci mengamuk lagi. Ia sedikit melunak atau karena merasa bersalah telah menyebar berita palsu atas pembalasan dendamnya yang jelas-jelas cuma salah kaprah.
Nah, dengan begitu Nia jadi berinisiatif untuk memanfaatkan situasi yang ada. Berhubung Jeffian tengah diterpa perasaan menyesal, ia jadi punya kesempatan untuk mengelak ucapan sebelumnya.
"kalo gitu cukup, ini terakhir kalinya kita berurusan. Jadi gak ada alesan lo buat nginjekin kaki di gedung ini lagi. Oke?"
"lo buntungin dulu kaki gue, baru gue gak nginjekin kaki disini. Setidaknya gue masih bisa merangkak pake tangan buat ngehantuin elo."
Nia sukses menganga dibuatnya. Gadis itu menyipitkan mata sambil menatap Jeffian dari atas sampai bawah. Persis seperti mesin scan.
"heh, bencong-"
"gue punya nama."
"Jena." sambung Nia cepat, ia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapan. Tak menghiraukan pelototan galak didepannya. "kan urusannya udah kelar nih ya, jadi anggep aja kita gak pernah ketemu deh. Ya? Gue pusing ngeliat muka lo."
"gue kesini cuma mau minta maaf karena udah ngatain lo lesbi." balasnya.
"gue maafin. Udah kan? Gue mau balik." pungkas Nia singkat lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Ditempatnya, Jeffian terdiam beberapa saat. Lalu entah mendapat dorongan dari mana, ia malah berbalik dan menyusul. Tak peduli akan kehadirannya yang mengganggu sekalipun. Menebus kesalahan adalah tujuan sampingan, sementara yang paling utama adalah lagi-lagi untuk menjaga agar dirinya tetap terhubung dengan gadis itu. Bagaimana pun juga rahasianya sudah dipegang satu orang. Dan orang itu wanita, pun bonus mulutnya yang sepanas petasan jamoe.
Nia menoleh lalu mendengus samar ketika cowok itu berjalan disebelahnya.
"ngapain lagi sih lo?"
"makan yuk, gue laper."
"hah?"
Jeffian menoleh ke sebelahnya sekilas, kemudian kembali meluruskan pandangan ke depan. "tangga." ucapnya mengingatkan.
Refleks kedua kaki Nia menghentikan pergerakannya. Ia berdiri pada anak tangga teratas tanpa memutus sorot mata setajam laser yang masih memandang cowok setengah cewek didekatnya itu. Benar-benar berhenti layaknya anak durhaka yang dikutuk menjadi batu arca oleh sang ibu. Bedanya disini tidak ada petir dan kilat menyambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...