Pukul setengah enam pagi, saat Nia terbangun dan tak mendapati siapa-siapa disampingnya. Ia langsung mengambil posisi duduk, sembari mengusap mata yang terasa berat sekali untuk dibuka. Diedarkannya pandangan sesaat, lalu segera beranjak keluar ruangan.
Suasana masih sepi, ibu nampaknya juga masih ada di kamarnya. Nia melangkah ke dapur, menuang air putih dari teko kedalam gelas. Kemudian meneguknya sampai tandas. Atensi berikutnya tertarik pada halaman belakang rumah karena sekilas ada bayangan seseorang yang tengah berdiri disana.
Benar saja, Jeffian sendirian. Nampak begitu tenang memandang lurus pada halaman kosong didepannya dengan secangkir kopi dalam genggaman. Seragam yang semalam dipakai tidur sudah berganti dengan kaos putih polos dan celana selutut. Ditambah aroma bunga yang menguar dari jarak dekat, menambah kesegaran pagi itu.
Tanpa membuat suara apapun, Nia berjalan mendekat. Sedikit mengangkat alis karena melihat cowok itu sangat serius dengan pikirannya sendiri, sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain yang berdiri didekatnya sekarang. Dihelanya nafas sesaat, kemudian Nia melangkahkan kakinya ke belakang Jeffian. Disusul dengan kedua tangannya yang perlahan melingkari pinggang laki-laki itu.
Jeffian tersentak, hampir berbalik secara refleks kalau saja tak ada yang memeluknya dari belakang.
"Nun?"
"apa?"
Terdengar deru nafas Jeffian super lega, disertai dengan gerakan mengelus dada. "kaget tau. Kok gak ada suaranya sih?"
"kamu aja yang melamun pagi-pagi. Kesurupan loh nanti."
Cowok itu terkekeh pelan, lalu mengusap tangan Nia yang masih betah melingkari perutnya.
"kok udah bangun?" tanyanya lagi.
"ini masih ngantuk sebenernya. Tapi gak ada yang bisa dipeluk, jadi aku bangun." jawab Nia seraya menyandarkan kepalanya dipunggung Jeffian. Betapa nyaman rasanya bisa memejamkan mata disana. "wangi banget, udah mandi ya?"
"udah. Kebiasaan mandi pagi sekarang. Sekalian juga soalnya semalem kan langsung tidur."
"jangan dibiasain, kotor."
"tapi kan gak bau asep."
"tetep aja kamu dari luar, abis aktivitas seharian. Jorok."
"jorok, jorok. Kalo aku cium juga mau kan kamu?"
Dibelakangnya, Nia mengulum senyum. Lalu menarik nafas senang bersamaan dengan kedua tangannya yang semakin erat memeluk Jeffian. Sementara suaminya itu juga tak bergerak, membiarkan posisi mereka seperti ini sambil menikmati aroma embun pagi dan menunggu matahari menampakkan diri.
Setelah sekian lama tak bertemu lalu kini bisa saling menyentuh, rasanya luar biasa bahagia. Terlebih setelah ada keterikatan hubungan yang lebih sakral-yang juga sewajarnya suami istri tinggal satu atap. Saat ini keduanya hanya ingin menikmati dunia dengan lebih tenang, tanpa ada ikut campur tangan orang lain. Itu saja.
"mau gak?" Jeffian menoleh sedikit. Diikuti Nia yang langsung menyembulkan kepalanya dari belakang.
"apa itu?"
"kopi."
"oh, pagi-pagi ngopi. Awas lambungnya sakit." sambil berbicara, Nia berpindah ke samping. Melihat sekilas kearah Jeffian yang sudah tertawa ditempatnya.
"ternyata punya istri tuh seru ya, diperhatiin banget." celetuknya. Namun langsung disambut dengan raut sebal oleh sang istri, serta cubitan dilengannya. "aw! Kok nyubit sih?"
"berarti kemarin-kemarin aku gak perhatian?" tuntutnya, berlagak merajuk.
"enggak gituuu." sangkal Jeffian. Satu tangannya merangkul Nia untuk kembali mendekat, lalu menyandarkan kepala istrinya itu di dada. Karena memang tinggi cewek itu hanya sampai batas bahunya. "kamu tuh gak berubah, Nun. Cuma bedanya pas udah jadi istri, tingkat kemenarikannya naik dua kali lipat."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...