Sambil menatap langit-langit kamar, Jeffian terlentang tanpa membuat gerakan sama sekali. Pikirannya berkelana jauh menerawang hari-hari kemudian. Membayangkan banyak hal yang akan terjadi pada hubungannya dengan Nia. Walaupun ia tau tak ada yang dapat menebak takdir, tapi bukan berarti tidak boleh berharap juga.
Pintu kamar yang terbuka menampakkan seseorang tengah berdiri dengan bantuan alat, berjalan perlahan-lahan. Jeffian menoleh, menyaksikan kini ibunya mulai bisa kembali melangkahkan kaki seperti dulu. Meski belum bisa sempurna, namun sudah ada kemajuan yang jauh lebih baik.
Tempo hari ibu pernah mengatakan bahwa ia bahagia berada disini. Tinggal bersama anak keduanya yang jauh lebih baik daripada si sulung. Kata ibu, Jeffian itu berbeda. Ia laki-laki yang tumbuh dewasa ditengah padang berduri sambil terus memegang komitmen. Berhasil melewati jalan yang terjal sampai ke pintu kesuksesan, tidak peduli meski seluruh tubuhnya berdarah-darah. Dan yang terakhir, setiap kali ibu melihat mata putra keduanya itu, ada harapan yang terpancar disana.
Ada harapan.
Tapi bagaimana kalau putra yang selama ini menjadi harapan terakhirnya akan menorehkan kekecewaan yang sama seperti yang dulu pernah terjadi?
Jeffian bangkit dari posisi terlentangnya, menopang siku diatas pangkuan dan menutup wajah frustasi. Jantungnya berpacu diluar batas, merasa takut dan khawatir bercampur aduk. Menstimulasi kerja paru untuk melakukan pernafasan yang lebih cepat. Bagaimana pun juga, semua ini harus secepatnya dituntaskan.
"hati-hati."
Ibu menoleh, tersenyum melihat Jeffian yang baru saja berdiri diambang pintu. "liat, Jeff. Ibu bisa jalan lagi!" serunya girang.
Cowok jangkung itu hanya membalas dengan senyum tipis, masih berdiri ditempat tanpa melakukan apa-apa. Disaksikannya sang ibu terus berusaha dengan gigih agar kemampuan fisiknya kembali seperti sedia kala. Namun, kegelisahan yang terpancar dari wajah itu tak dapat disembunyikan. Terlalu kentara. Secara sempurna memindahkan atensi ibu jadi tertarik untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.
"kamu kenapa kok sedih gitu?"
Jeffian refleks menatap ibunya, tak langsung menjawab. Pijar yang terpancar dari kedua mata itu meredup, berganti dengan awan mendung yang siap menumpahkan hujan sederas badai.
"bu, Jeffian mau ngomong."
Ganti ibu yang terdiam. Mengamati lamat-lamat ekspresi yang ada didepannya, tidak tertebak. Baru setelah itu ia mengangguk, menunjuk kursi yang ada di ruang tengah sebagai isyarat untuk segera bicara. Nampaknya serius sekali.
Dengan sigap dibantunya sang ibu untuk duduk. Sementara ia sendiri memilih menyatu dengan lantai. Membuat ibu semakin dikuasai rasa penasaran yang menggebu.
"kenapa, Jeff? Kok kamu nakutin gini?"
"Jeffian udah berusaha buat nutupin semuanya, tapi ibu harus tau."
"iya, tau apa?"
Ya, brengsek memang. Ketika harus terpuruk berkali-kali, padahal sudah mencoba kuat lebih dari yang dibayangkan. Didepan Nia, ia tegar. Karena kekasihnya itu membutuhkan pegangan agar tidak terjatuh pada lubang kegelapan yang lebih dalam lagi. Tapi dibelakang itu, Jeffian mengakui dirinya sangat rapuh. Masih sangat hancur sampai detik ini.
Ia menarik nafas dalam, lalu memberanikan diri menatap ibunya yang sudah khawatir setengah mati.
"maafin Jeffian, bu." lirihnya. Bertepatan dengan cairan bening yang berhasil lolos dari mata indahnya.
"kamu ngomong apa sih, Jeff? Jangan buat ibu kayak gini dong. Kenapa?"
"Nia..hamil."
Seperti dihantam jutaan mata pisau, dada ibu berdenyut nyeri mendengar pengakuan singkat itu. Juga lidahnya yang mendadak kelu, tak sanggup berkata-kata. Dipandanginya sang anak dengan sorot penuh keterkejutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...