Sambil tersenyum lebar, Nia memainkan tali tas selempangnya—menelusuri sepanjang jalan menuju rumah yang sudah sangat melekat erat didalam kepalanya itu. Tak sabar untuk menyampaikan kabar bahagia yang baru saja didapatnya ketika ia bertemu dosen pembimbing di kampus tadi. Satu persatu mahasiswa, terutama teman-teman yang setingkat, mulai merampungkan tugas akhir mereka dengan hasilnya masing-masing. Begitupun Nia, yang juga tidak ingin kalah bersaing dalam menunjukkan ketekunan dan kinerja otaknya dalam bidang akademik. Seminggu yang lalu Jeffian menyatakan bahwa skripsinya sukses dan ia akan melangsungkan sidang dua minggu lagi. Lalu hari ini, Nia menyusul dengan kabar yang serupa. Itu berarti mereka akan di-wisuda pada waktu yang sama.
Kemungkinan untuk selesai diwaktu yang bersamaan memang sangat besar. Sekarang coba saja pikir sendiri, setiap beberapa minggu mereka akan menemui dosen pembimbing masing-masing agar bisa mengoreksi hasil kerja tangan dan isi kepala yang hampir pecah disaat bersamaan. Yang juga selalu berujung dengan revisi disana-sini. Keduanya akan bertemu, lalu secara bersamaan merombak skripsi mereka sesuai dengan keinginan manusia yang pasti berperan penting dalam saksi kelulusan suatu saat nanti. Lalu janjian untuk bimbingan sama-sama lagi. Begitu seterusnya sampai surat panggilan sidang kini ada dalam genggaman.
Sore itu cuacanya sangat cerah. Langit biru dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih memang menjadi pemandangan alam yang menenangkan jiwa. Ditambah lagi dengan sinar mentari yang membias dari langit barat. Memancarkan kehangatannya yang khas dengan aroma musim panas.
Terakhir, dikeluarkannya ponsel dari dalam tas. Bersiap untuk mengontak Jeffian dan mengabarkan pada si pemilik rumah supaya bergegas membukakan pagar. Namun ketika ibu jarinya hendak menekan ikon kirim pesan pada format keyboard diponselnya itu, sebuah bayangan menyelinap kedalam kunci manik matanya. Berdiri tak jauh dari tembok didekat anak tangga yang menghubungkan dengan rumah Jeffian. Karena penasaran—tapi kali ini lebih ke refleks, Nia akhirnya menunda langkah dan mengangkat pandangan untuk melihat siapa orang itu.
Nafasnya tercekat, kontras dengan ritme jantung yang juga berubah menjadi sedikit lebih cepat. Wajah didepannya itu nampak sama persis dengan yang ada di figura bersama Jeffian. Kalau Nia tidak sedang mengigau, ia pasti berani taruhan bahwa laki-laki itu bernama Sadam. Aristide Sadam. Tidak bohong, itu memang dia.
Respon fisiologis Nia berupa keterkejutan yang sampai membuat kulitnya cukup pucat ternyata dibalas senyum tipis oleh laki-laki dihadapannya. Membuatnya membeku dengan titik fokus yang sama.
🐋🐋🐋
Siapa juga yang akan menyangka bahwa hari ini Nia akan dipertemukan dengan orang yang paling dibenci oleh Jeffian. Duduk berhadapan pada meja berukuran tidak terlalu besar yang terdapat didepan minimarket dekat gapura. Tempat yang dulu pernah disambanginya bersama Jeffian hampir tengah malam, sekaligus iseng mengerjai cowok itu dengan cara membelikannya mie pedas.
Oh, kembali lagi dengan realita. Fokus Nia tak teralihkan sama sekali dari objek didepannya itu. Ia baru pertama kali melihat Sadam, apalagi dari jarak sedekat ini. Menimbulkan first impression yang sama sekali bersinggungan dengan kenyataan. Cowok yang mengaku Sadam itu terlihat baik dari luarnya, memiliki aura yang kuat, dan bisa mirip Jeffian pada momen-momen tertentu seperti misalnya saat sedang diam. Wajahnya serupa tapi berbeda. Juga, laki-laki yang lebih tua empat tahun darinya itu memakai topi sekarang. Namun jelas sekali terlihat potongan rambutnya yang khas prajurit.
"kamu emang biasa mampir? Pacarnya Jeffian?"
"saya temen kuliahnya Jeffian. Kakak sendiri?"
Tak lama Sadam terkekeh, "saya kurang suka sebenernya dipanggil kakak, gimana kalo diganti jadi Mas?"
"apa?" Nia keceplosan. Mode gasnya hampir sama saat ia bertemu Jeffian pertama kali. "oh, hehe. Iya, oke Mas." gumamnya tidak jelas. Dalam hati misuh-misuh. Nyebut kakak saja rasanya ikhlas tidak ikhlas, ini disuruh panggil Mas pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanficIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...