Siang bolong yang kacau. Begitu judul yang tepat sebagai hadiah untuk hari pertama Nia dan Jeffian meresmikan hubungan mereka. Susah payah Nia memegangi tangan Jeffian yang masih menarik miliknya cukup kencang. Berusaha menghentikan langkah cowok itu atau pergelangan tangannya benar-benar akan remuk. Mungkin Jeffian tidak sadar telah menggunakan tenaga dalam saat ini. Ya, memang sempat terjadi percekcokan tadi, sebelum salah satu dari dua laki-laki itu menariknya menjauh.
"Jeff, sakit!"
Jerit tertahannya tanpa diduga sukses menahan Jeffian agar berhenti ditempat. Dari belakang, Nia bisa melihat betapa kekasihnya itu sedang terlibat dengan badai emosi yang cukup mengganggu. Seraya menghembuskan nafas kasar, Jeffian memutar posisi. Manik matanya langsung tertancap lurus pada iris bening gadis cantik yang masih berdiri didekatnya.
"kamu kenapa gak pernah bilang!?" tanyanya. Tidak membentak, tapi jelas menuntut jawaban.
Jujur, Nia belum terbiasa dengan panggilan barunya itu. Tapi ia tidak memiliki banyak waktu untuk mempersoalkan hal yang tidak sepatutnya dibahas. Lebih buruknya lagi, ia sedikit ketakutan melihat respon Jeffian.
"aku bakal cerita, tapi gak sekarang—"
"kenapa?"
"kamu emosi, Jeffian." sambungnya cepat.
Keduanya masih melempar tatapan yang sama. Seolah berusaha membaca maksud tersirat dari sorot masing-masing karena mulut tak lagi mampu berucap.
"aku harus pulang sekarang."
"jangan," cegah Nia cepat. Ia menggelengkan kepala beberapa kali disertai dengan sorot penuh permohonan. "gak perlu, Jeff."
"Nia, Sadam ada disana sekarang. Aku gak tau apa yang bakal dia omongin ke ibu, gimana kalo terjadi sesuatu?"
"Sadam bukan orang jahat, Jeff. Dia kakak kamu. Dia anaknya ibu juga. Gak mungkin dia tega berbuat nekat sama orangtua sendiri kan?"
"kalo dia punya pikiran kayak gitu, dia gak bakal ninggalin keluarga."
"oke, aku ngerti. Tapi untuk sekarang jangan kesana dulu. Kasih dia waktu buat ketemu ibu, ya?"
Jeffian menggeleng super ragu. Terlihat sekali bahwa ia dipenuhi kecemasan yang berlebihan. Kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk bertemu Sadam. Yang ada bisa baku hantam lagi seperti waktu itu. Dan Nia tidak yakin Sadam akan menodongkan senjatanya untuk kedua kali hanya sebagai bentuk ancaman. Bisa-bisa kali ini adiknya benar ditembak mati.
Sampai akhirnya Nia berhasil melepas cengkraman cowok itu dan ganti menggenggam jemarinya lembut. Jika salah satu sedang emosi, sebaiknya jangan ditimpah pula dengan ego yang serupa. Hanya itu yang terlintas dibenak Nia. Sejak lama dirinya berjanji untuk tetap berdiri ditengah-tengah dan manjadi pihak yang paling netral. Jadi, berusahalah untuk selalu tenang.
Berselang tiga puluh menit kemudian, mereka kembali ke rumah. Meski awalnya was-was karena takut Sadam masih ada disana. Pada kenyataannya rumah itu sepi seperti biasa. Hanya ada ibu yang terlihat duduk dikursi rodanya sambil sesekali mengusap wajah, keciri sekali habis menangis. Masih tak ada yang bicara saat itu. Jeffian hanya berdiri diambang pintu dan melihat kearah ibunya dengan sorot yang sulit diartikan. Tak lama kemudian ia melangkah gontai ke kamarnya. Seolah tak mau tau apa yang terjadi.
Sementara Nia memilih untuk mendekati ibunya, duduk dikursi kayu yang ada disana sambil tersenyum tipis.
"Nia.." lirih ibu, yang kemudian dibalas oleh Nia dengan sebuah pelukan hangat.
Diusapnya punggung ibu beberapa kali, menyalurkan ketenangan. Sambil terus membiarkan orang yang ada dalam pelukannya menumpahkan tangis sampai puas. Adegan tersebut berlangsung cukup lama, lalu ibu yang mengurai dekapannya lebih dulu. Membuat mata mereka bertemu pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...