Berbaring ditengah keheningan malam dengan pikiran melayang kemana-mana sudah menjadi rutinitas Jeffian belakangan ini. Pada kursi kayu berukuran panjang itu, dirinya menjelma menjadi arca batu. Memikirkan banyak hal dan yang pasti terkait hidup semua orang kedepannya. Mungkin kalau tidak kuat, Jeffian sudah menjadi salah satu penghuni rumah sakit jiwa karena banyak tekanan seperti ini.
Sembuh dari luka batin itu memang tidak mudah. Ia bisa berkata demikian karena pernah merasakan. Tapi kalau sudah keputusan, maka segalanya pun akan terasa sangat mantap untuk terus melaju kedepan. Bukan diam ditempat atau bahkan berjalan mundur karena menyerah.
Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa kali sukses mengembalikan seluruh konsentrasinya ke pusat pengendali pikiran. Jeffian langsung merubah posisi menjadi duduk sambil memandangi pintu rumahnya yang tertutup rapat. Kemudian melirik jam yang menempel pada tembok—pukul sepuluh malam. Dahinya mengernyit, seingatnya pagar sudah dikunci. Karena penasaran, akhirnya ia pun beranjak untuk memastikan.
Betapa terkejut cowok itu ketika membuka pintu dan mendapati Nia berdiri dihadapannya.
"Nun? Ini kamu?" tanyanya. Antisipasi jikalau itu hantu yang menyerupai Nia.
Nia tersenyum, super tipis. Nampak anggun menghiasi wajah pucatnya yang sudah sekian lama tidak berjiwa.
"kamu lupa kunci pager." ujarnya mengingatkan.
Lupakan soal pagar, yang sekarang Jeffian pertanyakan adalah bagaimana bisa kekasihnya itu sampai kesini larut malam. Apakah tidak mencari perkara namanya?
"kamu kesini naik apa? Kenapa gak ngabarin?" tanyanya bertubi-tubi. Kedua mata Jeffian menyipit, melihat jejak luka disudut bibir wanitanya. "Nun, ini kenapa bisa luka?"
Bukannya menjawab, Nia malah mendekat. Melingkarkan kedua tangan mengelilingi tubuh cowok itu, lalu menumpu dagu dibahu lebarnya. Ia menghela nafas panjang dan dalam, sulit diartikan. Tapi kali ini perasaan lega lebih mendominasi.
"aku ketauan papa dan dipukul."
Haduh—rasanya jantung Jeffian seperti diinjak-injak. Super berdebar mendengar informasi singkat dan padat yang disampaikan Nia. Apalagi ketika mengetahui alasan dibalik luka yang didapati kekasihnya itu, hasil gampar sang papa. Demi Tuhan, sakitnya luar biasa.
Sekali lagi Nia terdengar menghela nafas, seraya mengeratkan dekapan—memberi kode secara nonverbal agar pelukannya segera dibalas. Karena sejak tadi Jeffian hanya terdiam kosong.
"sakit ya, Nun?"
"sakit," jawab cewek itu langsung, "tapi lebih sakit lagi hati aku tiap kali nama kamu disebut sebagai pelakunya."
Ya, mereka memang saling menyakiti. Tapi masih mencoba tegar untuk bisa menyelesaikan semuanya pun bersama-sama. Saling menggenggam. Ketika salah satu melepaskan genggaman itu, maka yang lainnya akan berusaha mempertahankan. Begitulah yang terjadi pada hubungan mereka.
Tak ada yang perlu diralat karena pernyataan itu adalah benar secara fakta. Sudah konsekuensi dari Jeffian sendiri karena bersikeras tak ingin berpisah dalam keadaan apapun. Perlahan tangannya bergerak, membalas dekapan itu tak kalah erat. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar dari surai gelap kekasihnya itu, menikmati kenyamanan yang tercipta.
"aku juga lega, ibuku udah tau."
Nia tertegun. Baru mendengar itu sekarang.
"you okay?"
"how bout you?" Jeffian bertanya balik.
"aku butuh kamu." ucap Nia, lalu Jeffian menimpali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...