Pagi-pagi sekali Nia terjaga dari tidur panjangnya karena ringtone panggilan masuk handphone itu seolah menusuk gendang telinga. Begitu membuka mata, pemandangan Jeffian yang sedang mengancingkan seragam biru tua kebangsaannya langsung menyambut. Oh iya, laki-laki itu kebagian dinas sekarang.
Nia duduk, mengambil ponsel dan terdiam. Malas mengangkat telepon dari sang papa karena sudah pasti akan dimarahi lagi.
"papa nelpon, angkat gak?"
Jeffian menoleh kebelakang, ikut membeku sesaat. "angkat lah, papa khawatir sama kamu."
"aku pasti diomelin lagi."
"mau aku yang ngomong?"
"kamu mau mati?"
Diliriknya Jeffian sambil cemberut, baru kemudian ia menggeser gambar hijau dan menggunakan mode loadspeaker. Sengaja ingin membagi percakapan itu pada kekasihnya juga. Ditariknya nafas panjang, sebelum menyapa papa dengan kalimat yang sudah terlampau biasa.
"dimana kamu?"
Nia langsung menatap Jeffian setelah kalimat tajam itu terdengar. Sempat berpikir untuk berbohong dan mengatakan dirinya lari ke rumah Rina, tapi entah mengapa Jeffian tidak setuju. Cowok itu mengangguk, memberi isyarat untuk segera menjawab dengan jujur.
"maaf pah, aku di rumah Jeffian."
"bagus." desis papa, "pulang kamu sekarang!"
Sedetik kemudian telepon terputus dari pihak yang menghubungi. Ya, nampaknya mereka sukses membuat papa naik pitam pagi buta.
Dua orang itu belum memutus kontak mata sampai Jeffian duduk ditepi tempat tidur—tepat disebelah Nia. Sadar ada ketakutan yang terpancar dari kedua bola mata wanitanya, Jeffian tersenyum lebih dulu, lagi. Begitu tulus dan akan selalu tegar. Diraihnya tangan kiri Nia untuk dikecup, seolah tidak peduli bahwa yang ada didepannya ini bukan lagi seseorang yang ia kenal pertama kali.
"aku anter kamu pulang." tuturnya lembut.
"aku bisa pulang sendiri."
"aku akan tanggung jawab, semua yang berkaitan dengan kamu." sambungnya penuh penekanan.
Sukses membuat Nia bungkam dan akhirnya tak memiliki argumen lagi untuk menolak. Bukan dirinya yang dipikirkan, tapi Jeffian. Kekasihnya yang tidak bersalah itu akan menjadi sasaran amarah orangtuanya lagi. Nia menunduk sedih seraya mengeratkan genggaman tangan yang ada. Tak lama dianggukkannya kepala, berusaha untuk berpikir positif sekaligus memberanikan diri.
"oke, ayo temenin aku ketemu papa." ucapnya lirih. Sejujurnya tidak seratus persen siap.
Sudut-sudut bibir Jeffian terangkat, senang mendengar respon itu. Karena akhirnya Nia bisa meluruskan niat untuk terus menjalani hubungan secara apa adanya. Dengan kondisi tengah berbadan dua dari laki-laki yang bukan kekasihnya. Cukup bagi mereka untuk mulai menghadapi semuanya bersama-sama.
"hm, ayo." balasnya.
Diusapnya punggung tangan Nia sekilas, kemudian hendak beranjak menyiapkan kendaraan. Namun sebelum benar-benar bangkit, gerakanya tertahan karena salah satu pihak enggan melepas tautan mereka. Kembali ditatapnya Nia penuh tanya.
"semoga kita bisa ngelawatin semua ini." ucap Nia.
"you braver than you think, Nun. Semua akan baik-baik aja selama kamu dan aku yakin."
Hening sesaat, lalu keduanya saling melempar senyum lagi. Terlihat Nia menarik nafas untuk yang kesekian kali, namun yang sekarang agak gugup. Lalu dengan tanpa permisi ia mengalungkan kedua tangan ditengkuk Jeffian dan mendaratkan bibirnya pada milik laki-laki itu, yang langsung disambut dengan senang hati. Seolah lupa kalau Jeffian pernah meminta kepadanya untuk ditahan. Ya, apa boleh buat. Bibir itu menjadi candu untuk keduanya. Dan Nia, juga sangat menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...