Beberapa kali Nia mengunjungi konsultan laktasi untuk mengatasi permasalahan utamanya dalam kesulitan memberikan ASI, atau menggunakan jasa psikiater online untuk meringankan beban mentalnya. Sembuh total tidak, tapi berangsur-angsur prosesnya lumayan membuahkan hasil. Ia merasa jauh lebih baik dan kini mulai bisa mengelola rasa emosional setiap kali stressor datang.
Sejak semalam Nia demam, dikarenakan payudaranya yang membengkak. Namun ia berusaha untuk tetap sabar, mencoba tenang sambil mengikuti beberapa saran yang diajarkan oleh konselor setiap kali datang berkunjung. Meski kesulitan, dicobanya kesempatan itu tanpa celah. Sampai sekiranya sang anak bisa menyusu sedikit demi sedikit. Dan, berhasil. Tau tidak rasanya seperti apa? Bahagia bukan main.
"Meisie, Meisie, Meisie, kalo gede mau jadi apa?"
Langkah Nia terhenti didepan kamar, seraya ia sandarkan tubuhnya pada kusein pintu. Kedua tangan yang dipenuhi minyak balur dan baby oil terlipat didepan dada. Bersamaan dengan sudut-sudut bibirnya yang tertarik membentuk senyum lebar. Merasa lucu menyaksikan interaksi antara suami dan anaknya.
Sambil menggerak-gerakkan tangan Meisie, Jeffian tidak berhenti bernyanyi. Atau sekadar memanyunkan bibir dan membuat beberapa ekspresi lain agar sang anak tertawa. Pemandangan yang menghangatkan hati. Terjadi hampir setiap kali Jeffian tidak bekerja. Jujur, ini yang paling mengangkat stres.
"aku kepengen pintar, biar jadi pemadam." lanjut Jeffian sesuka hati.
Nia akhirnya tertawa, lalu melanjutkan langkah dan bergabung bersama Jeffian yang tengah sibuk mengajak bicara bayinya.
"pengen banget dia jadi pemadam?" gumam Nia sembari menggeser posisi Meisie. Kemudian menuangkan minyak ke telapak tangan dan mulai memijat pelan seluruh tubuh gadis mungil itu. Rutinitas setiap akhir pekan. Karena menurut sudut pandang kesehatan, hal ini memiliki banyak manfaat untuk bayi.
"yap, Mei bakal ikut jejak aku." jawab Jeffian.
Dua orang itu terdiam sejenak dan saling pandang. Baru setelahnya Nia yang memutus kontak lebih dulu sambil terkekeh pelan. Sementara Jeffian kembali asik bermain bersama Meisie dengan cara memberikan jari telunjuknya begitu saja, yang akan langsung digenggam oleh si anak karena itu merupakan gerakan refleks yang paling pertama ada pada tahap tumbuh kembang bayi.
"kamu masih demam?"
"udah mendingan," balas Nia, "cuma masih mual aja sedikit."
Satu tangan Jeffian yang bebas bergerak menyentuh kening Nia. Mengecek suhu tubuh istrinya itu dan memastikan bahwa sore ini keadaannya sudah mulai membaik. Setiap kali Nia mengeluh seluruh tubuhnya sakit, kepala berdenyut sampai timbul mual, dan lain sebagainya, Jeffian selalu berkata dalam hati andaikan saja semua itu bisa dibagi kepadanya. Sayangnya, kembali lagi pada hukum alam. Sudah menjadi kodrat seorang wanita mengalami masa-masa seperti ini, jadi tak ada yang perlu dijadikan beban. Tugas suami adalah terus mendampingi, menjaga dan memberikan kasih sayang seluas samudera.
"sehat selalu, sayang."
Nia melihat Jeffian sekilas, "kamu ngomong ke aku atau Mei?"
"kamu," jawab cowok itu. "aku percaya, suatu saat Mei akan tumbuh menjadi gadis cantik yang cerdas. Dia mungkin punya sejarah yang mirip sama aku, tapi dia juga punya mental sekuat baja kayak ibunya."
Semoga saja. Yang namanya orangtua pasti selalu menyelipkan doa-doa terbaik mereka untuk sang anak. Meski Jeffian bukan ayah kandungnya, namun ia selalu mengasihi Meisi seperti darah dagingnya sendiri. Gerakan tangan Nia terhenti, bersamaan dengan fokusnya yang berubah kearah Jeffian. Ia terdiam cukup lama hanya untuk memandang lekat manik hitam milik suaminya itu. Disusul sebuah senyum tulus dan juga anggukan kepala singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...