Setelah beraktifitas seharian penuh, akhirnya Nia bisa merasakan betapa nikmat sensasi air yang mengalir dari puncak kepala sampai ujung kaki. Aroma khas bunga menguar begitu sampo yang digunakan mulai membuat busa diseluruh rambut. Nia memijatnya cukup lama, memang selalu seperti ini. Karena dengan begitu seolah semua penat dan lelah ikut meluruh sepenuhnya.
Usai mandi, gadis itu menyantap makan malamnya sendiri. Sudah biasa juga seperti itu, karena mama dan papanya pasti sudah tidur atau malah masih di ruang kerja mereka masing-masing. Belakangan ini kesibukan Nia memang hanya siaran radio, selebihnya jelas keluyuran. Kalau tidak menemani Jeffian, ya main ke rumah Rina. Mumpung masih sama-sama menganggur, katanya.
Kasur yang empuk menjadi daya tarik Nia saat ini untuk segera merebahkan diri. Furnitur rumah tangga yang satu itu memang menjadi yang paling dibutuhkan dipenghujung hari. Dipandanginya langit-langit kamar dalam diam, kemudian ia teringat akan suatu hal. Dengan semangat dirogohnya tas yang tergeletak tepat disebelahnya, mencari sesuatu. Beberapa detik berikutnya, senyum itu mengembang manis tatkala selembar foto berukuran sedang kini ada dalam genggaman.
Dalam jepretan yang diabadikan beberapa minggu lalu—terlihat Jeffian tersenyum lebar menunjukkan lesung pipinya yang memikat hati. Sementara Nia, jangankan bisa tersenyum, berdiri saja harus terhuyung karena Jeffian merangkulnya lumayan anarkis. Tapi sejujurnya, foto itu menjadi hal yang paling disukai belakangan ini. Cerita dibaliknya memang sedikit menyebalkan, tapi memori takkan bisa hilang sampai kapanpun. Dua-duanya terlihat serasi memakai toga hitam di hari penuh makna itu. Ya, di hari itu mereka wisuda.
Senyum dibibir Nia berubah menjadi tawa pelan. Tak pernah dirinya menyangka akan lulus dari perguruan tinggi bersama dengan laki-laki yang telah mengisi cinta dihatinya. Karena kalau bukan pertemuan di warung malam itu, mereka mungkin takkan saling mengenal seperti ini. Hei, tunggu, cinta? Ternyata tidak butuh waktu lama untuk bisa jatuh cinta. Pada kenyataannya, dalam hitungan bulan pun dua sejoli yang selalu bersama bisa mendapati rasa itu.
Dering panggilan masuk yang cukup keras sukses memecah keheningan di kamar itu. Nia refleks berdecak karena foto yang dipegangnya jadi terlepas dan jatuh menutupi wajah. Tak ingin membuang waktu, ia beranjak untuk mengambil ponsel diatas meja rias. Dan nama yang muncul disana lagi-lagi sukses membuatnya tersenyum.
"halo?"
"halo, Anunya."
"iya, ada apa?"
"belum tidur?"
Sambil duduk, Nia mengulum senyum. "baru selesai makan, gak boleh tidur. Nanti bisa buncit."
"oh ya? Tapi kucing kok gak ada yang buncit? Kan kerjaannya makan tidur doang?"
"lo tanya aja sana sama kucingnya." balas Nia, "tumben nelpon, kenapa nih?"
"kaku banget sih sama calon pacar. Ya mau telpon aja, gak boleh ya emang?"
"gak boleh kalo gak jelas."
"kangen, Nun. Berapa hari ini kita gak ketemu. Kurang jelas? Kangennnn, Nunnn." pekik Jeffian.
Ditempatnya Nia sudah tertawa. Tak kuasa mendengar respon lucu laki-laki berlesung pipi itu meskipun saat ini tidak bertatap muka secara langsung.
"kok ketawa sih?" cowok itu mendumal. "awas kesurupan."
"Jeff, kebangetan lo emang. Gue lagi sendirian nih." balas Nia yang langsung menghentikan tawanya.
Sekarang terdengar Jeffian yang terkekeh. Suaranya yang berat itu mengisi setiap ruang dalam telinga Nia. Menjadi candu untuk selamanya.
"ada gue kok, dihati lo. Asikkk." timpal cowok itu sambil tertawa puas.
"jijikkk!"
"jual mahal, padahal biasanya gue dicium-cium."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...