"Nia, kamu masih seneng di radio sampe sekarang? Gak bosen apa?"
Nia yang baru saja menuangkan nasi goreng ke piring miliknya melirik papa—yang baru saja bertanya demikian. Sarapan pagi itu menjadi awal hari Minggu yang panjang, untuk bersantai. Mama dan papa pasti libur kalau akhir pekan, sementara Nia beberapa kali kedapatan jadwal siaran di radio. Namun untuk hari ini ia libur.
Putri tunggal keluarga itu pun mengangguk, "masih, pah. Belum pengen keluar dari zona nyaman aja."
"mumpung fresh-graduate, jangan disia-siain loh." tambah papa.
"iyaaa," balasnya lagi, "oh iya, hari ini aku mau keluar sama temen."
"mau kemana?"
"ada undangan wedding. Acaranya sore sih, cuma berangkatnya siang."
"kamu sama siapa mau kesana?"
"temen aku."
"temen atau temen?" ganti mama bertanya dengan intonasi sedikit menyelidik.
Otomatis Nia melempar fokus pada sang mama, kemudian tertawa lepas mendengar itu.
"mama masih inget gak sama temen cowok yang aku bawa pas family gathering waktu itu?" tanya Nia antusias.
"samar sih, abis itu gak pernah ketemu lagi. Emang kenapa? Itu pacar kamu?"
Yang ditanya nyengir lebar lalu melirik orangtuanya bergantian, yang langsung dibalas dengan sorot menahan tawa dari keduanya. Untuk mereka, jarang sekali terjadi obrolan santai seperti ini karena sehari-hari sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan. Jadi masing-masing sudah bisa memaklumi jika memang ada perubahan yang terjadi tanpa harus diketahui setiap prosesnya. Seperti misalnya anak satu-satunya ini, yang kesulitan mendapat kesempatan untuk bercerita kepada orangtuanya soal asmara.
"hehe, iya."
"ya kalo pacar tuh dikenalin sama orangtua gitu loh," sambung papa, "siapa namanya?"
"Jeffian." jawabnya cepat, "ya kan kalo bawa pacar pasti yang pertama ditanya kerja dimana, nah kemarin itu dia emang belum siap dirilis. Aku tau banget tipe-tipe papa gini, dari a sampe z pasti ditanya. Kasian pacar aku nanti, keringet dingin."
Ganti papa dan mama yang tertawa.
"emang iya ya? Perasaan muka papa biasa aja gak nyeremin."
"nih ya, mau muka papa selucu doraemon sekalipun, kalo judulnya udah calon mertua, pasti jadi serem banget deh."
"lohoho, kalo cowok tuh harus gentle gitu loh. Jangan-jangan pacar kamu itu anak SMA ya? Jadi kamu takut kalo papa tanya macem-macem dia bisa pingsan?"
Nia cemberut, "ish, papa gak tau aja."
"ya udah, nanti kesini kan? Kenalin ya. Bilang, ditunggu sama papa di rumah."
Kontan kedua mata gadis itu melebar, bersamaan dengan potongan ketimun yang terlepas dari gigitannya dan mendarat dipiring. Dilihatnya sang papa kini sedang mengangkat alis dengan senyum tertahan.
"gak bisa dong, nanti kan dia kesini mepet waktu terus pasti langsung jalan." kilahnya.
"pulangnya kamu gak dianterin lagi emang? Ajak makan malem disini lah. Kalo enggak mau, ya terpaksa kamu sama si Jeffian itu harus...klek." jelas papa panjang lebar lalu diakhiri dengan gerakan seperti memotong leher yang agak berlebihan.
Karenanya mama gagal membendung tawa, sedangkan Nia semakin mengerucutkan bibir dan tak bisa protes apa-apa. Pada akhirnya ia harus menimbang-nimbang tawaran makan malam dari papa untuk kekasihnya itu. Mungkin memang sudah saatnya Jeffian go public. Tunggu sebentar, tapi—
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...