Nia
Sibuk gak?Hari itu cuacanya sangat bagus, Nia duduk di perpustakaan kampus sambil membaca komik hasil pinjam Rina—yang kebetulan juga minta ditemani bimbingan, dengan alasan bosan luntang-lantung sendirian. Selagi temannya itu bertemu dosen untuk mempertaruhkan setengah dari hidupnya hanya demi karya tulis, Nia sengaja menghindari hiruk pikuk dan berakhir disini.
Dipandanginya ponsel dalam genggaman, sedang membuka fitur pesan yang baru saja datang. Sadam, kembali menghubunginya. Nia terdiam sebentar dan nampak tengah merancang kata-kata balasan, namun panggilan dari nomor yang sama segera menyusul. Membuatnya tak bisa mengelak dan akhirnya mengangkat sambungan tersebut.
"halo?"
"halo, Nia."
Dari percakapan singkat dalam telepon itu, Sadam bertanya apakah Nia memiliki waktu untuk bertemu dengannya atau tidak. Sekilas diceritakannya tentang hari kemarin, dan sukses membuat gadis itu berpikir ulang untuk menolak.
Usai Rina selesai bimbingan, keduanya sempat makan di kantin. Hitung-hitung nostalgia juga karena sudah lama tidak menikmati momen seperti ini. Disanalah Nia mengatakan pada Rina bahwa ia tidak bisa berlama-lama menemani karena mendadak ada urusan yang harus diselesaikan. Sambil menjanjikan temannya itu akan cerita kalau waktunya sudah tepat. Menjelang sore, mereka berpisah.
Tadinya Sadam menawarkan untuk menjemput di kampus, namun segera mungkin ditolak oleh Nia. Lebih baik bertemu di suatu tempat daripada harus dijemput ke lokasi, begitu pikirnya.
Pertemuan kali ini lagi-lagi di kedai kopi. Selain karena tempat seperti itu memang nyaman untuk berlama-lama, juga bisa dijadikan sarana dan prasarana untuk mengobrol lebih leluasa. Ditemani dua gelas kopi dengan selera yang berbeda, keduanya duduk diam dan saling pandang. Belum lama ini Nia sampai, dan tumben sekali Sadam sudah lebih dulu ada disana.
Sebelum memulai kalimatnya, laki-laki itu terlihat mengambil nafas panjang. Lalu tanpa mengalihkan fokus sama sekali, mulai dijabarkannya satu persatu cerita. Dari awal sampai akhir. Mengenai alasan dirinya pergi dari rumah, sampai momen dimana ibu menolaknya karena terlanjur kecewa. Tak pelak, secara tanpa disadari Nia sudah merubah ekspresinya dengan berbagai macam bentuk. Lebih jelasnya, tidak menyangka dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.
"wow.." responnya pertama kali, kehabisan kata-kata. "Mas, itu kelewatan, tau gak?"
Sadam mengangguk, "kamu mau hujat saya? Silahkan."
"jelas. Kalo saya jadi Jeffian, saya juga bakal ribut terus kalo ketemu sama Mas."
"tolong simpen cerita ini buat kamu sendiri, Nia. Biar Jeffian tau dari ibu." pesan Sadam.
Nia mendengus sekali sambil menumpu kepala dengan satu tangan diatas meja. Mendengar semua pengakuan yang keluar dari mulut Sadam sore ini membuatnya hancur. Mereka memang tidak ada keterikatan secara darah keturunan, namun entah apa yang membuat Nia bisa ikut merasakan semua kisah menyakitkan ini.
Selama beberapa saat dirinya dalam posisi seperti itu. Berusaha meredam debaran jantungnya yang menggebu, terlebih agar tangisnya tidak pecah. Kalau saja laki-laki, sudah dihajarnya sekarang juga. Sayangnya, ia tidak bisa melakukan semua itu. Dan akhirnya hanya bisa menahan sesak didada.
"punya berapa anak sekarang, Mas?" tanya Nia dan kembali pada posisi semula. Bersandar pada kursi.
Yang ditanya sempat mengangkat alis heran. "dua," jawabnya.
"ada fotonya? Boleh saya liat?"
Keduanya saling menyoroti selama beberapa detik dengan tatapan yang mengandung arti berbeda. Nia penuh rasa ingin meledak, sementara Sadam terlihat bingung tapi tetap tenang. Setelah itu dikeluarkannya ponsel, lalu menyodorkan kearah Nia sudah dengan gambar keluarga kecil yang diambil dari galerinya. Sesuai permintaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...