Spin off -31

1.6K 330 59
                                    

Berdiri diam menghadap keluar jendela hotel sambil memegang secangkir kopi demi merasakan betapa sejuk angin malam yang berhembus kala itu. Sadam masih setia disana dengan pikiran yang berkecamuk. Sulit untuk menebak reaksi apa yang akan ditunjukkan sang ibu saat mengetahui maksud dan tujuannya kembali ke Jakarta.

Masa lalu Sadam, jauh lebih baik daripada milik Jeffian. Ia yang paling dimanja oleh orangtua hanya karena lebih berprestasi dibanding adiknya itu, padahal ia yang seharusnya bertanggung jawab pertama kali untuk membalas jerih payah mereka kelak. Tinggal satu atap dengan Jeffian selama bertahun-tahun sempat membuatnya bosan. Hubungan yang tak pernah akrab sejak masih kecil bertambah renggang saat adiknya itu mulai memasuki dunia SMA.

Ketika lulus sekolah dan ngotot ingin melanjutkan ke akademi militer, Sadam dapat merasakan betapa kontras perubahan sikap yang terpancar dari Jeffian. Jelas sangat tidak suka, bahkan sempat menentang kemauannya mengingat kedua orangtua mereka harus bekerja lebih ekstra untuk itu. Yang mengakibatkan Sadam dan Jeffian sempat bertengkar. Namun, setahun kemudian ia berhasil lolos kesana. Dengan senyum super bahagia melambaikan tangan kearah ibu, bapak dan Jeffian—sebagai salam perpisahan sebelum dikarantina disana.

Banyak hal yang ia dapati selama ditempa di akademi. Selain fisik yang dilatih, mental pun harus sekuat baja. Yakinlah prajurit manapun pasti memiliki dasar seperti ini. Namun yang terjadi pada Sadam ini nampaknya berbeda, atau memang laki-laki itu yang salah menyikapi. Empat tahun sudah terlewati, dengan Sadam yang sedikit naik level merasa bangga atas pencapaian dirinya sendiri. Seolah lupa siapa yang pernah berperan sebelum ia ada disini. Mengaku kepada para rekan termasuk senior, bahwa kedua orangtuanya sudah tiada, hanya demi mendapatkan hati seorang putri atasannya.

Merasa keberadaannya telah diterima, Sadam semakin nyaman dengan circle seperti itu. Pada akhirnya ia menikah dengan wanita incarannya dan menjadi menantu dari seorang mayor jenderal yang sering disebut-sebut sebagai pentolan akademi penuh wibawa. Terlanjur basah, maka mandi-lah sekalian. Begitu bunyi pribahasa yang ada. Dan Sadam benar-benar membuktikannya dengan membuang jauh kehidupan lama demi masa depan diri dan keluarga kecilnya.

Bukan berarti setelah itu ia tidak dihantui dengan bayang-bayang keluarga yang ada di Jakarta. Selama sekian tahun dirinya berpikir, baru belakangan ini memutuskan untuk memboyong ibu dan Jeffian ikut ke Magelang. Tapi itupun tetap harus tinggal ditempat yang terpisah. Karena tidak mungkin dirinya membongkar kebohongan kepada istri dan mertuanya, itu sama saja dengan bunuh diri. Pangkatnya bisa saja dicopot dan karirnya di dunia militer akan selesai. Dan ia tidak ingin itu terjadi.

Tiba-tiba terlintas didalam kepalanya satu nama. Tanpa pikir panjang Sadam langsung mendudukkan diri diatas kasur hotel dan meraih ponsel yang tergeletak diatasnya. Diketikkannya sebuah pesan singkat, dengan kalimat permohonan agar dibalas tersisip diakhirnya.

Malam, Nia
Ada yang mau saya diskusiin sama kamu
Smg lagi gk sibuk

Setelah menunggu dua menit, sebuah pesan balasan datang ke nomornya.

Ada apa, Mas?

Kamu ada waktu besok?
Bisa kita ketemu lagi?

Saya pergi kalo besok

Oh gitu
Ya udh saya tanya disini aja gimana?

Oke
Silahkan

Saya sebenernya cuma pgn tau aja jadwal Jeffian
Kira2 dia tugasnya hari apa dan jam berapa aja
Mungkin kamu tau

Saya bukan manajernya, Mas
Mana tau

Tapi kan pacar

Dia paling dapet libur seminggu itu cuma 2 kali
Kerjanya 24 jam

Kalo besok dia kerja?

Enggak
Besok mau pergi sama saya

Berkat informasi dari seorang perantara, Sadam bisa menyusun strategi untuk esok harinya. Ia berencana untuk datang ke rumah lamanya dan menemui ibu untuk membicarakan ini. Yang pasti tidak perlu ada Jeffian, karena mereka pasti akan saling adu mulut untuk yang kesekian kali. Paling fatal ya baku hantam.

Dalam pesan bersambung yang terjadi diantara dirinya dan Nia itu, Sadam sengaja menjelaskan alasannya bertanya banyak hal. Ia perlu waktu dengan ibu lebih dulu untuk membicaran sesuatu yang bersifat pribadi. Dan ia juga berpesan agar rencananya ini tidak sampai diketahui oleh Jeffian.

Sementara Nia yang posisinya memang ada digaris samar, mau tak mau jadi berusaha memaklumi. Dijawabnya pertanyaan Sadam dengan jujur mengenai kemana dan jam berapa Jeffian akan pergi besok.

🐋🐋🐋

Benar saja, esoknya begitu Jeffian pergi, Sadam datang ke rumah untuk menemui ibu. Karena selalu tiba-tiba dan tanpa undangan, kehadiran anak pertama keluarga tersebut juga selalu menciptakan keterkejutan yang sama bagi si pemilik rumah.

Ekspresi ibu langsung berubah saat mendengar cerita yang baru saja sampai ke telinganya, mengenai alasan Sadam rela meninggalkan keluarga sampai ke titik yang terakhir. Kekecewaan tergambar jelas dari kedua sorot tua itu, selaras dengan air yang menggenangi pelupuk matanya.

"kalo ibu ikut kamu tapi beda rumah buat apa, Dam? Apa bedanya sama ibu tinggal disini?"

"Sadam cuma berusaha cari cara supaya kita bisa tinggal deketan lagi, bu. Kita bisa saling ketemu nantinya."

Ibu tersenyum miris, "tinggal deket tapi gak dianggap hidup ya percuma, Sadam."

Laki-laki itu lantas terdiam membenarkan.

"kamu kan bilang ibu bapak udah gak ada, kamu juga bilang gak punya adik ke keluarga baru kamu itu. Jadi ya udah, lanjutin aja hidup kamu disana. Takutnya nanti ibu malah ganggu. Ibu juga udah nyaman di rumah ini sama Jeffian."

Terpaksa, ibu meninggikan Jeffian didepan anak pertamanya. Hanya karena ingin Sadam tau bahwa disini pun ia bisa bahagia. Tak perlu lagi menanti kehadirannya yang selalu didambakan. Rasa rindu yang terpendam selama bertahun-tahun berubah menjadi kecewa yang teramat dalam. Bayangkan saja sendiri bagaimana jika berada di posisi ibu, sakit sekali.

Sadam tak berlama-lama disana, menjelang sore ia memutuskan untuk pamit. Tak lupa berkata pada ibu bahwa ia masih akan berkunjung kesini beberapa hari lagi. Keputusan dan penolakan ibu akan ia terima dan pahami dengan baik.

Sepeninggalan Sadam, ibu terdiam ditempat yang sama. Duduk memangku tangan dengan nafas tercekat. Lama-kelamaan isakannya tak sanggup lagi ditahan dan meledak. Perasaannya saat ini sangat hancur dibuat oleh putra pertamanya. Ia tak pernah menyangka bahwa hari ini akan terjadi. Tak pernah membayangkan bahwa hari ini akan mendengarkan semua pengakuan Sadam yang ternyata membuatnya hampir mati.

🐋🐋🐋












~~•• 19 April 2020 ••~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~•• 19 April 2020 ••~~

✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang