Beberapa bulan telah berlalu. Kehamilan Nia juga sudah menginjak bulan ke-lima. Perubahan bentuk tubuh yang signifikan tak berusaha untuk ditutupinya karena memang sudah memiliki suami. Ia dan Jeffian belum tinggal satu atap, tapi masih sering bertemu kalau ada kesempatan. Ya, kira-kira setahan itulah mereka dalam mempertahankan hubungan tanpa ada niatan untuk menyerah pada situasi maupun waktu.
Kandungan Nia tidak bisa dikatakan aman sepenuhnya karena ia cukup banyak mengalami tekanan selama ini. Terkadang ia kesulitan untuk mengontrol pikiran agar tidak sampai stres, yang pada akhirnya selalu gagal. Namun karena adanya pengawasan dari dokter yang menangani, jadi Nia masih bisa tenang.
Terakhir, hari ini adalah jadwalnya pemeriksaan rutin bulanan ke dokter kandungan. Berhubung Jeffian kedapatan dinas, jadi Nia pergi ke rumah sakit ditemani sang mama. Awalnya ia bersikeras untuk berangkat sendiri, namun papa melarangnya dan meminta mama menemani.
Ck, ayolah, gue gak semanja itu—protes Nia dalam hati.
"bunda gak banyak pikiran kan?" tanya dokter yang tengah mencuci tangan di wastafel usai melakukan pemeriksaan.
Nia bingung untuk menjawab, malah melirik mama yang duduk disebelahnya.
"jangan ya, bun. Diusahain kalo lagi hamil gini jangan sampe stres, karena nanti bisa berdampak buat janinnya." tambah dokter.
"saya suka kepikiran aja, dokter. Soalnya baru hamil pertama kali, jadi mikir nanti lahiran kayak gimana, ngurus bayi kayak gimana, gitu sih." kelakar Nia, padahal tidak demikian yang ia rasakan.
"ikut kelas prenatal gak?"
"kelas kehamilan?" Nia bertanya balik, dokter mengangguk. "enggak, saya cuma sesekali liat video dari internet."
"sebenernya kelas kehamilan itu bagus loh buat calon-calon orangtua mempersiapkan persalinan dan kehidupan setelah persalinan. Tapi kalo enggak juga gak apa-apa. Bisa liat video-video dari internet sekarang kan banyak ya, itu ambil yang video edukasinya. Jadi bisa sambil belajar juga." jelas dokter, "terus penting banget buat ngelola stres ya, bunda. Ini papanya mana, gak ikut?"
Nia tersenyum, "enggak, dokter. Kebetulan hari ini dapet dinas, makanya saya kesini sama ibu saya."
"oh, oke. Komunikasi sama suami baik?"
"baik,"
"pernah berhubungan sama suami selama hamil?"
Mendadak Nia tersedak salivanya sendiri karena mendengar pertanyaan tersebut. Untuk wanita hamil dengan standar pengalaman yang minim seperti dirinya ini, jelas sangat malu kalau ditanya soal privasi antara suami istri. Bagusnya, ia masih bisa mengontrol ekspresi. Dengan begitu tidak terlalu keciri kalau kenyataan selama ini berbanding terbalik dengan semua jawaban yang keluar dari mulutnya.
"maksudnya berhubungan seks?" tanya Nia.
"yap,"
"saya justru gak tau kalo boleh hubungan badan sama suami pas lagi hamil. Emang gak apa-apa ya, dok?"
Sepolos dan sefrontal itu memang aslinya seorang Nia. Ia hanya menjawab dengan apa adanya dan bersikap normal sekarang. Sementara dokter terkekeh atas pertanyaan barusan sambil terus menulis pada catatan medis.
"boleh kok, asal posisinya aman. Karena perut bunda kan udah besar, jadi harus cari posisi yang enak. Hubungan badan sah-sah aja sih kalo buat ibu hamil. Malah juga bisa buat ngurangin stres." jelas dokter.
"dok, maaf, kalo misalkan hubungan sama suami terus anu—" Nia terdiam, benar-benar malu.
"anu apa?" tanya wanita berjas putih didepannya itu sambil mengulum senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...