Selesai menyantap sarapan paginya, Jeffian langsung bersiap untuk berangkat kerja. Semua pekerjaan rumah sudah dibereskan, termasuk menyapu dan mengepel lantai, sampai cuci piring. Sebagaimana kembali ke rutinitas seperti pada awalnya. Tidak ada yang beda suasana sebelum dan setelah menikah, rumah itu masih dihuni oleh orang yang sama.
Lambat laun respon keluarga masing-masing pun berubah. Karena hanya Jeffian yang ada, pun satu-satunya anggota keluarga yang tersisa, akhirnya ibu pun bisa memaafkan kesalahan anaknya itu. Lagipula ibu merasa sangat beban kalau harus terus mendiami Jeffian. Bukan hanya sekadar tidak tega, tapi lebih kepada sikapnya yang begitu baik. Rasanya sulit mempercayai semua ini terjadi begitu saja.
Sementara dilain tempat, Nia masih setia pada komitmennya bersama Jeffian untuk tinggal bersama orangtua di rumah masing-masing. Pada kenyataannya meskipun mama dan papa sibuk bekerja, mereka pasti menyempatkan waktu untuk bersama Nia. Membelikan makanan yang lebih bergizi, menambah asupan buah-buahan, atau apapun itu yang bisa menyenangkan anaknya. Namun, bagaimana pun juga Nia tidak merasa betul-betul bahagia selama dirinya dan Jeffian masih dipisah.
"bu—"
Fokus Jeffian diambil alih secara paksa oleh ponsel yang menjeritkan ringtone diatas meja makan. Nama yang tertera dilayar serta merta membuat ekspresi wajahnya berubah dingin. Ia memang masih menyimpan nomor telepon Sadam sejak hari itu.
Tanpa berniat menjawab sama sekali, digesernya ikon berwarna merah. Seketika menimbulkan efek senyap pada ponsel itu. Jeffian menghela nafas sejenak, lalu kembali berfokus pada ibu yang masih setia menunggunya bicara.
"Jeffian berangkat dulu. Makanannya udah diatas meja semua, nanti kalo ibu mau makan siang gak usah dipanasin juga gak apa-apa kok." lanjutnya. "kalo mau kemana-mana, pelan-pelan aja ya. Jangan lepas walker dulu."
"iyaaa, ibu tau." balasnya. Lalu tersenyum tipis saat si bungsu mengecup punggung tangannya sekilas, disusul satu cium pipinya juga. "hati-hati, Jeff."
"hm,"
Setelah itu dirampasnya ponsel dari atas meja, berikut jaket dan helm yang bertengger pada kursi. Usai berpamitan sekali lagi, barulah cowok itu meninggalkan rumah. Mengendarai byson putihnya untuk sampai ke tempat kerja. Jeffian memang jarang membawa mobil kalau ke kantor, kecuali jika situasinya mendesak.
Jangan lupakan dirinya sudah memiliki seorang istri. Walaupun tidak bertemu setiap hari, tapi komunikasi mereka pasti terjalin dengan sangat baik. Ibarat kata, kini mereka sudah berdiri di tengah-tengah permasalahan. Tidak ada kata untuk mundur, maka maju adalah jalan satu-satunya. Hanya tinggal menunggu sampai kapan waktu akan menyerah dan mempersatukan mereka. Begitulah.
Kegiatan Jeffian di kantor berjalan lancar seperti biasanya. Tugas harian juga tidak dapat diprediksi, suatu waktu bisa sangat padat, dan tak jarang pula ada waktu untuk bersantai.
Selama menghabiskan waktu diluar, tak ada lagi nomor yang sama mencoba menghubungi seperti tadi pagi. Entah ada keperluan apa, Jeffian sebenarnya tidak terlalu ingin tau. Ia terlanjur membenci kakaknya itu dan benar-benar berharap bahwa hubungan kekeluargaan mereka tidak berlanjut lagi. Anggap saja memang tidak pernah saling kenal.
🐋🐋🐋
Pagi, sayang
Udah sarapan?Pagi, Jeffi
Aku udah sarapan
Kamu?Udah sampe kantor malah
Semangat kerjanya ya
Danke
Kamu juga jaga diri di rumah
Kalo ada apa2 telpon call center
Aku di 113
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...