Apa yang terjadi setelah itu...
Ketika Jeffian menyudahi tindakannya, serta mengurai jarak secara perlahan, Nia dapat melihat bagaimana kedua mata itu membimbingnya untuk masuk lebih dalam. Membaca setiap celah yang seolah memang sengaja ditunjukkan begitu saja. Bibir Jeffian masih berdarah, semakin terbuka lukanya karena ciuman itu. Si bodoh.
"Jeff,"
Jeffian tak menjawab, masih dalam mode yang sama.
"gue marah ya pokoknya. Awas lo." gumam Nia kemudian berlari pergi.
Anggaplah rumah ini memang sudah menjadi miliknya juga, tanpa meminta izin terlebih dahulu Nia langsung masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Disandarkannya seluruh tubuh yang masih gemetar pada daun pintu dibelakangnya, seraya menghirup oksigen banyak-banyak guna mengisi paru-paru yang kehabisan udara. Disentuhnya bibir, ada noda kemerahan yang ia yakini adalah darah Jeffian. Lalu lagi-lagi Nia menghela nafas dan memejamkan mata kuat-kuat. Mau nangis saja rasanya, campur aduk.
"gue minta maaf, Nia."
Terbelalak sudah kelopak mata Nia ketika tiba-tiba sebuah suara terdengar persis diluar kamar. Bisa dijamin Jeffian sekarang juga tengah berdiri didepan pintu karena rasanya sedekat itu. Dari intonasi yang datar, sebuah penyesalan tertangkap jelas sampai ke telinga pendengarnya. Seolah laki-laki itu berkemampuan membaca pikiran tanpa perlu melihat lawan bicaranya. Jujur, Nia tidak benar-benar marah. Ia hanya gila sesaat. Butuh waktu untuk menenangkan diri sendiri akibat ciuman tanpa aba-aba yang terjadi beberapa menit lalu. Satu lagi fakta yang ada, Nun atau Anunya—tidak berlaku disaat-saat penuh keseriusan seperti ini. Sayangnya, si pemilik nama tidak terlalu nyaman kalau yang menyebut adalah Jeffian. Karena baginya terlalu serius. Ia lebih suka Jeffian memanggilnya—
"Anunia."
Bukan, bukan seperti itu.
"bibir gue berdarah sejak kapan?"
Dengan alis menyatu rapat dipandanginya pintu itu, seolah memancarkan sinar laser yang bisa menembus sampai keluar. Nia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jeff, bibir lo emang udah berdarah dari semalem, ditambah lagi lo cium gue kayak tadiii—jerit Nia dalam hati. Latihan tarik nafas dalam adalah cara terbaik untuk menetralkan debaran jantungnya saat ini. Hal tersebut sudah dilakukan sejak beberapa detik yang lalu. Sampai akhirnya Nia merasa siap untuk membuka pintu dan menampakkan diri. Masa bodo dengan wajahnya yang masih bersemu. Ia akan mengalihkan perhatian pada hal lain, sumpah.
Hancur sudah pertahanan Nia yang terbentuk belum ada satu menit itu ketika membuka pintu dan melihat Jeffian berdiri disana seperti yang ia duga. Pandangan cowok itu yang sebelumnya tertuju kebawah, perlahan berubah fokus. Tak bisa dipungkiri kalau mereka akhirnya harus bertukar tatap lagi dan lagi.
"bangunin ibu dan ajak sarapan. Gue keluar sebentar."
"mau kemana?"
"apotek."
Jeffian hampir menahan tangan Nia kalau saja tidak mendapat pelototan galak dari gadis itu. Seketika ia urungkan niatnya dengan menyembunyikan tangan dibelakang tubuh.
"gue gak berani muncul didepan ibu dengan muka kayak gini, Nun."
"ya udah, gue yang bangunin. Tapi lo tetep gak bisa menghindar, Jeff. Gimana pun juga pasti keliatan."
Tanpa menunggu balasan lagi, Nia lantas menuju kamar ibu dari cowok itu. Meninggalkan Jeffian yang hanya bisa menganga ditempatnya. Setelah mengucap salam dan permisi kepada pemilik ruangan, Nia mendekat masuk. Mengundang sorot penuh tanya dari wanita paruh baya yang ternyata sudah terjaga entah sejak kapan. Selain senyum tak ada lagi yang bisa ia tunjukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...