7• TERCIDUK

2.7K 532 77
                                    

Sebagai perempuan yang kesehariannya menjadi pengguna kendaraan roda dua, baru kali ini Nia memilih untuk menaiki angkutan umum antar kota untuk sampai ke tempat kerjanya. Tidak biasa tentunya. Duduk bersebelahan dengan orang lain yang tak dikenal ditengah suasana pengap yang khas. Tarif bus ini memang murah, sesuai dengan fasilitasnya yang sangat minim. Jangankan AC, bangku penumpang pun ada beberapa yang sudah mengeluarkan bunyi kretek-kretek.

Untuk standarisasi seorang Anunia Zemira Panditha—yang cuek terhadap lawan jenis, momen ini pun menjadi sangat langka. Temannya yang bernama Rina bahkan terheran-heran dan beberapa kali menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Nia bilang, dirinya hanya tidak biasa melihat waria seperti Jeffian. Padahal dalam hatinya berkata lain, yakni karena ia benar-benar tertarik. Sehingga rasa penasarannya pun kian memuncak, meski harus berkali-kali menepis pikiran yang menyatakan bahwa sebenarnya ia suka pada Jeffian.

Cowok ganteng, gebetannya pasti lebih ganteng. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, tapi Nia yakin bahwa Jeffian pasti sudah memiliki pasangan hidup yang juga tak kalah tampan darinya. Oh, mengingat itu membuat Nia merinding sekaligus ngeri.

Selepas siaran radio, gadis itu langsung menuju ke warung kopi. Tempat paling strategis dimana ia bisa melihat Jeffian sebagai pribadi yang berbeda. Lagi pula cowok itu yang memintanya untuk bertemu disini tadi siang.

Sudah satu jam lebih Nia duduk disana ditemani segelas teh hangat yang hampir tandas isinya. Sesekali menimpali obrolan ringan dengan pemilik warung yang juga sudah mulai hapal dengan wajahnya. Boleh ditebak topik pembahasannya pun tak jauh-jauh dari si banci Jena yang sering bolak-balik nongkrong disini. Sedikit informasi yang didapat saat itu adalah bahwa Jeffian memiliki kakak laki-laki berusia enam tahun lebih tua.

Udara cukup dingin malam ini, merangsang secara eksternal ginjal untuk memproduksi urin lebih banyak. Karenanya, Nia langsung ingin buang air kecil. Ia sempat melirik jam pada pergelangan tangannya, menuai desah kecewa disaat yang bersamaan.

"pak, saya pamit deh. Udah malem. Ini uang tehnya ya."

"yah, neng. Saya lagi gak ada receh buat kembalian."

"ya udah gak apa-apa pegang aja, pak."

"nanti besok kalo mampir ingetin deh ya."

"ambil aja pak." Nia tertawa pelan, "saya pamit ya." ucapnya sekali lagi kemudian segera meninggalkan tempat usai mendapat respon dari lawan bicaranya.

Berjalan menelusuri trotoar sendirian sambil bersungut-sungut menjadi aktivitas nomor satu Nia sekarang. Tau bakal begini, ia berangkat naik motor saja tadi. Dasar Jeffian banci kurang ajar. Berani-beraninya menipu dengan janji bertemu di tempat biasa.

Samar-samar terdengar bunyi sirine polisi dari kejauhan. Disusul penampakan satu orang waria yang tengah berlari tunggang langgang menenteng sepatu ber-hak—muncul dari sudut jalan, tepat disamping tembok sebuah butik baju-baju muslimah. Kontan Nia membelalakan mata ketika mengetahui siapa yang sedang dilanda kepanikan itu. Ia berdiri diam saking tidak bisa berkata-kata sambil terus memperhatikan apa yang didepannya itu. Dan baru tersadar ketika satu tangannya ditarik tanpa izin yang secara otomatis membuat dirinya ikut berlari.

Jeffian yang kesetanan ini kayaknya memang lupa sudah menyeret orang lain dalam aksinya. Ia masih berlari menggunakan kaki panjangnya, seolah lupa kalau ada perempuan asli yang sedang kesulitan untuk menyeimbangi langkah.

"Jeff, lo apaan sih?"

"gue dikejar polisi, Nun!"

Sambil terus berlari, Nia menatap cowok itu dari belakang dengan sorot tak habis pikir. Kedua alisnya menyatu antara heran tapi juga sudah menduga, meyakini kalau hal seperti ini memang lambat laun pasti terjadi. Dalam hati ingin sekali berteriak didepan wajahnya. Pria bodoh mana yang berdandan ala perempuan ditengah hiruk pikuk kota, kotanya rawan razia pula.

✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang