Sebatang rokok utuh terselip dibibir seorang laki-laki yang baru saja keluar dari bank, sementara kedua tangannya sibuk menjejalkan dompet kedalam saku lalu mengambil ponsel dan mengontak satu nama. Terdengar ia berbicara singkat, mengatakan sedikit informasi tentang uang yang baru saja ditransfer ke rekening penerima. Itu pamannya yang jauh diluar kota, kalau mau tau—yang selama ini membiayai kuliah dan menyokong kehidupannya selama beberapa waktu. Hubungan saudara mana ada jika seperti ini, hutang tetaplah hutang. Jadi, setiap bulan Jeffian akan mengirimkan sekian persen gajinya untuk melunasi semua itu.
"iya, oke. Makasih, om." ucapnya terakhir. Setelah itu panggilan terputus. Baru saja akan disimpannya benda itu kedalam saku, satu panggilan lain menyusul. Dan nama yang ada disana langsung membuat sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. "halo, sayang? Yap, kamu dimana?"
Pada akhirnya rokok yang sudah dipegang tidak jadi dibakar, melainkan dibuang ke tempat sampai. Entah apa yang dibicarakan bersama kekasihnya melalui telepon, yang jelas ia terlihat beberapa kali tertawa. Lalu sambungan itu kembali terputus untuk yang kedua kalinya setelah sekian menit.
Omong-omong, saat ini Jeffian memang sedang berada di rumah sakit. Letaknya tepat disebelah bank milik BUMN yang memiliki bangunan kokoh itu. Sang ibu ada jadwal terapi dengan dokter saraf langganannya. Kebetulan juga sedang lepas dinas, jadi tidak ada alasan baginya untuk menunda.
Semua targetnya mulai tercapai satu persatu. Jeffian benar-benar bisa merasakan perbedaan ketika belum dan saat memiliki pekerjaan. Ekonominya jauh lebih baik, meskipun gaji tidak sebesar kelihatannya. Setidaknya bisa menepati janji untuk membawa ibundanya terapi lanjutan setelah dulu sempat tertunda.
Saat kembali ke ruangan, pemandangan pertama yang masuk kedalam indera penglihatannya adalah ibu. Bagaimana ibu bisa berdiri dan menapakkan kaki tanpa alasnya dilantai. Melangkah sangat hati-hati, dibantu menggunakan walker, serta dijaga oleh dokter dan perawatnya.
"nah, mulai ada progres ya dari terapi sebelumnya. Mas, liat nih ibunya udah bisa jalan." kata dokter senior keturunan Arab dengan rambut memutih bernama Farabi itu tak lama setelah kehadiran Jeffian.
Dengan cengiran khasnya Jeffian memandang takjub sang ibu. Sangat bahagia bisa melihatnya pulih kembali. Sementara dokter kembali ke mejanya dan langsung menulis hasil resume hari ini pada catatan rekam medis atas nama pasien.
"jalan sedikit lagi, abis itu balik." ucap dokter Farabi, "pusing gak, bu?"
"enggak sih, dok. Cuma masih kayak gemeteran. Saya takut jatoh."
"ya kan gak instan dong hasilnya. Wah, kalo gini gak usah konsul sama bedah saraf juga bisa ini. Saya tok tok tok, sembuh ibu."
Dokter Farabi memang pribadi yang cukup humoris. Pembawaannya selalu menyenangkan dan membuat para pasien yang ditanganinya merasa rileks. Sambil menertawakan guyonan itu, Jeffian merentangkan tangan lebar-lebar, kemudian dengan senang hati menangkap tubuh sang ibu yang sukses berjalan kearahnya. Ya, kalau sudah di ruang terapi apapun bisa terjadi. Sampai-sampai dokter dan perawat yang menyaksikan kedekatan ibu dan putranya itu ikut tersenyum bahagia.
Dibantunya ibu untuk duduk kembali, siap mendengarkan pesan-pesan yang akan disampaikan oleh dokter mengenai kelanjutan proses pengobatan ini.
"sesak gak?" tanyanya lagi.
"sedikit, dok. Kenapa ya?"
"gak apa-apa, namanya juga adaptasi. Karena biasa tiduran atau duduk, sekalinya berdiri apalagi dibawa jalan, itu darah kayaknya turun semua ke kaki. Nanti di rumah bisa latihan sedikit-sedikit biar gak kaku lagi ototnya nih."
"gak apa-apa, dok?" ganti Jeffian yang bertanya.
"loh iya, asalkan Mas ada disitu. Jagain ibunya. Nah ibu juga jangan coba-coba nih pas gak ada orang, kalo jatoh emang yang mau bangunin siapa toh? Ya? Bahaya itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...