27• AKU DI 113

2.2K 390 81
                                    

Beberapa waktu telah berlalu. Hubungan yang dijalin oleh Jeffian dan Nia semakin lekat. Kedekatan mereka yang terbilang cukup lama, membuat situasi ketika berpacaran pun tidak terasa jauh berbeda. Dua-duanya masih sering bercanda, saling melempar guyonan satu sama lain. Dan dua-duanya pula saling menjaga. Memenuhi setiap celah ketidaksempurnaan si pasangan dan menjadikannya lengkap.

Sampai pada hari dimana pria itu menemui Nia sepulang siaran, dan langsung menyampaikan kabar bahagia yang baru didapatnya beberapa jam lalu—mengenai pernyataan telah diterimanya pelamar atas nama Jeffian Irsyadi Dvi Baghali sebagai bagian dari anggota atau petugas pemadam kebarakan setempat. Uji tes berikutnya akan dilakukan secara formal dalam rentang waktu yang sudah ditentukan.

Nia awalnya tidak menyangka sama sekali. Namun gurat penuh keceriaan yang terpancar dari wajah Jeffian sukses menjalar kepadanya. Hingga akhirnya tanpa kuasa dipeluknya tubuh jangkung itu, memberikan apresiasi berupa selamat yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Kalau seperti ini, om Ahmad pun pasti bangga mendengarnya.

Seperti biasanya, kehadiran Sadam seolah berhasil menempati posisi sebagai sempalan belaka ketika kehidupan yang dijalani oleh keluarga di Jakarta mulai membaik. Mengguncang mereka sesaat, lalu dengan tanpa kata akan menghilang kembali. Akunya sudah kembali ke Magelang, karena memang si tentara itu tinggal disana bersama istri dan anaknya yang sampai saat ini belum diketahui siapa. Sedangkan rencana untuk membawa ibu dan Jeffian kesana belum lagi ada kabar.

Kini, Jeffian mulai tenang. Jauh lebih baik dan stabil secara emosional dari waktu-waktu yang sudah lalu. Ia banyak tertawa, tidak merasa terancam sama sekali akan kehadiran Sadam yang bisa jadi tanpa diduga untuk yang kesekian kali. Bersama Nia, dirinya bisa merasakan kehangatan sinar mentari yang memberikan kehidupan pada seluruh insan di dunia. Apalagi ketika mendapat kabar baik dari instansi yang memang selalu ditunggunya, terasa seperti hidup ini mulai berpihak kepadanya.

Tak memiliki siapa-siapa sudah biasa bagi laki-laki bernama belakang Baghali itu. Namun ibu dan kekasihnya adalah dua orang yang selalu membuatnya kuat untuk berpijak. Dari sana pula ia diajarkan bagaimana caranya bertahan dan terus melangkah kedepan meski badai mungkin siap menghantam dengan sesuatu yang lebih dahsyat.

Malam itu, Nia menjelajah kakinya menelusuri sepanjang jalan yang tidak asing. Jalan yang menyimpan kenangan dimana ia bisa mengenal Jeffian secara lebih dalam. Ketika dilihatnya sebuah warung masih berdiri kokoh, senyum itu mengembang tanpa sadar. Tak ada yang berubah, Nia sudah meneliti secara keseluruhan begitu tiba.

"malam, pak." sapanya.

Si pemilik warung mengerutkan kening, nampak berusaha mengenali siapa yang baru saja datang lalu menyapanya dengan sangat ramah ini. Sudah lama tidak mampir, semenjak Jeffian tidak lagi menjadi wanita jadi-jadian. Pasti ia lupa seratus persen kalau tidak diberi clue yang paling mudah.

"temennya Jeffian." kata Nia.

"ooohhh! Betul, betulll. Saya tegesin dari tadi kayak siapa, ternyata mbak yang suka berantem sama Jeffian itu ya. Sini, mbak, mampir. Ealah udah lama banget baru keliatan, kemana ajaaa?"

Sambil terkekeh tanpa suara Nia duduk dibangku kayu yang juga belum mengalami perubahan sejak dulu. Mulai nyambung karena si pemilik warung ternyata mengingatnya dengan mudah. Faktor Jeffian yang nyentrik itu pastinya.

"mau dibikinin minum apa? Kopi susu?"

"tau aja," Nia tertawa lagi, "satu ya, pak. Maaf ngerepotin."

Hanya perlu sekiranya satu menit kopi susu yang ia pesan tersaji diatas meja—dengan uap panas mengepul diatasnya. Nia mengucapkan terima kasih, yang langsung dibalas kalimat dengan intonasi ramah yang menandakan keterbukaan orang tersebut terhadapnya. Perbincangan malam dimulai. Diawali dengan pertanyaan-pertanyaan singkat yang mudah dijawab, sampai yang mulai membingungkan untuk dijawab.

✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang